Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Jumat, 21 Juni 2013

EKSISTENSI BETAWI DI "JAKARTA BARU"

Eksistensi orang Betawi saat perayaan HUT DKI Jakarta tahun ini menjadi layak dipertanyakan karena sebagai penduduk asli wilayah itu seharusnya keberadaannya di segala bidang terlihat jelas.

Jika tema perayaan HUT ke-486 DKI Jakarta itu adalah "Jakarta Baru, Jakarta Kita", pertanyaannya adalah apakah ada orang Betawi di "Jakarta Baru" itu?

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, yang belum genap setahun memimpin Ibu Kota itu, telah berkomitmen mengembangkan masyarakat Betawi beserta kebudayaannya.

Komitmen Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi itu menunjukkan bahwa dia menjalankan falsafah hidup orang Betawi yakni "masup kandang kambing ngembik, masup kandang kerbau ngelenguh".

Komitmen Jokowi itu juga seperti menjawab keresahan yang ada di sebagian tokoh dan masyarakat Betawi, yang merupakan "tuan rumah" di Kota Metropolitan, atas minimnya ruang dan lokasi bagi orang Betawi dalam menancapkan eksistensinya, khususnya dalam berkebudayaan.

Komitmen itu antara lain Pemprov DKI Jakarta akan mengharuskan penggunaan ornamen Betawi pada bangunan-bangunan di Jakarta, menyelesaikan pembangunan kawasan baru di Kampung Betawi Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, serta pembangunan Masjid Raya Jakarta yang keseluruhannya bangunannya menggunakan karakter Betawi.

Selain itu, pembiasaan PNS Pemrov DKI Jakarta untuk menggunakan baju Betawi sekali dalam seminggu dan menyegerakan pengenalan kebudayaan dan filosofi Betawi sejak usia dini dengan melaksanakan program muatan lokal untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

Pemprov juga akan menyelesaikan Pusat Kebudayaan Betawi eks Kodim Jakarta Timur, Gedung Museum MH Thamrin, serta pembangunan revitalisasi makam Pangeran Jayakarta.

Berkaitan dengan itu, Ketua Bamus Betawi (demisioner) Becky Mardani mengatakan masyarakat masih perlu menunggu realisasi pernyataan politik Gubernur tersebut.

"Karena program yang menyangkut Betawi sekarang ini sebetulnya lanjutan dari sebelumnya. Misalnya LP PBB (Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi) itu `dedicated program` sejak lama. Jadi mesti kita lihat dahulu realisasinya. Jangan Cuma janji dan Betawi puas di kasih janji," katanya.

Menurut Becky, masyarakat Betawi harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya generasi mudanya untuk siap bersaing demi meningkatkan eksistensinya, termasuk di bidang eksekutif dan legislatif.

Kebijakan afirmatif
Sementara itu, katanya, Pemda DKI Jakarta perlu mengeluarkan kebijakan afirmatif misalnya dengan memberikan kuota tertentu bagi orang Betawi dalam rekrutmen pegawai Pemda sehubungan partisipasi kader Betawi di birokrasi Pemda Jakarta saat ini masih kurang.

"Seharusnya memang ada `affirmative policy` buat Betawi di pemprov. Misalnya dari 500 pegawai baru harus ada 100 orang Betawi. Praktek ini terjadi di semua tempat. Kalau tidak bukan mustahil makin sedikit kader Betawi di dalam lingkungan Pemprov DKI," katanya.

Namun, ia mengingatkan agar orang Betawi pun harus berupaya sendiri antara lain dengan meningkatkan sumber daya manusia (SDM), khususnya generasi mudanya agar siap bersaing di semua sektor.

Masyarakat Betawi pada saat ini, menurut sejumlah kalangan, juga harus bersatu dan menolak jika ada upaya memecah belah jika menginginkan menjadi kelompok masyarakat yang kuat. Bila warga asli sudah terpecah-belah dan sering berseteru, maka akan mudah dimasuki dan dikuasai oleh pihak-pihak dengan kepentingan tertentu.

Terbentuknya sejumlah ormas Betawi selain bisa dimaknai positif, juga bisa negatif seperti adanya upaya pengkerdilan organisasi itu. Persatuan yang diharapkan tercipta dengan terbentuknya sejumlah ormas itu, malah menunjukkan, disengaja atau tidak, terjadinya perpecahan.

Dalam kemajuan kota Jakarta juga terdapat hal-hal lain yang perlu diperhatikan seperti suara warga Betawi dari pemimpin Jakarta dalam urusan mereka. Tokoh masyarakat Betawi dari pemerintahan perlu diajak berkomunikasi mengenai arah kepemimpinan Jakarta.

Budayawan Betawi Ridwan Saidi bahkan pernah mengatakan pelestarian komunitas Betawi harus menjadi agenda penting dalam pembangunan ibukota Jakarta guna membantu orang Betawi melestarikan budayanya.

"Ada baiknya perencanaan pembangunan daerah memikirkan pelestarian komunitas Betawi, karena tanpa komunitas tak mungkin kebudayaan dapat dilestarikan," katanya.

Pertanyaan tentang keberadaan orang Betawi di "Jakarta Baru" tersebut bukan bermaksud mempermasalahkan kesukuan dalam kehidupan bernegara. Namun, itu diharapkan bisa menjadi upaya untuk mempertahankan kebhinekaan, yang merupakan salah satu pilar kebangsaan Indonesia. (ab)

Sabtu, 25 Mei 2013

PROFIL MUSIK BETAWI

Penduduk Betawi sejak awal sudah sangat heterogen atau beragam. Kesenian Betawi, seperti kesenian musiknya, lahir dari perpaduan berbagai unsur etnis dan suku bangsa yang ada di Betawi.


Seni musik Betawi tidak terhindar dari proses perpaduan itu. Dalam musik Betawi terdapat pengaruh Eropa, China, Arab, Melayu, Sunda dan lain-lain.

Dalam buku Profil Seni Budaya Betawi disebutkan bahwa yang masuk ke dalam kelompok seni musik Betawi adalah Gambang Kromong, Gambang Rancag, Gamelan Ajeng, Gamelan Topeng, Keroncong Tugu, Tanjidor,  Orkes Samrah, Orkes Gambus, Sampyong dan Marawis.

Selain itu, Rebana, yang berdasarkan jenis alat, sumber syair, wilayah penyebaran dan latar belakang sosial pendukungnya, terdiri atas  Rebana Biang, Rebana Ketimpring, Rebana Ngarak, Rebana Maulid, Rebana Hadroh, Rebana Dor, Rebana Kasidah, Rebana Maukhid, dan Rebana Burdah.

           Gambang Kromong

Nama Gambang Kromong diambil dari nama alat musik yaitu gambang dan kromong. Ia juga merupakan paduan yang serasi antara unsur pribumi dan China. Unsur China tampak pada instrumen seperti tehyan, kongahyan, dan sukong. Sementara unsur pribumi berupa kehadiran instrument seperti gendang, kempul, gong, gong enam, kecrek dan ningnong.

Memang, pada mulanya Gambang Kromong adalah ekspresi kesenian masyarakat China peranakan saja. Sampai awal abad ke-19 lagu-lagunya masih dinyanyikan dalam bahasa China. Baru pada dasawarsa pertama abad ke-20 repertoar lagu gambang kromong diciptakan dalam bahasa Betawi.

Gambang Kromong sangat terbuka menerima kemungkinan pengembangan. Itulah sebabnya dikenal gambang kromong kombinasi yang disebut juga gambang kromong modern. Dikatakan kombinasi karena susunan alat musik asli ditambah atau dikombinasikan dengan alat musik Barat seperti gitar, gitar melodi, bass, organ, saksofon, dan drum.

Gambang kromong kombinasi dapat memenuhi semua keinginan penonton. Dapat dibawakan jenis lagu dangdut, keroncong, pop, bahkan gambus. Seniman musik pop pun bisa mempopulerkan lagu-lagu gambang kromong seperti Benyamin S, Ida Royani, Lilis Suryani dan Herlina Effendi.

            Gambang Rancag

Gambang rancag bisa disebut sebagai pertunjukkan musik sekaligus teater, bahkan sastra.  Ia tediri dari dua unsur  yaitu gambang dan rancag.

Gambang berarti musik pengiringnya dan Rancag adalah cerita yang dibawakannya dalam bentuk pantun berkait.  Umumnya membawakan lakon-lakon jagoan seperti Si Pitung, Si Jampang, dan Si Angkri. Pantun berkait ini  dinyanyikan oleh dua orang secara bergantian. Sama dengan berbalas panting.

Pergelaran gambang rancang selalu terbagi atas tiga bagian. Bagian pembukaan yang diisi dengan lagu-lagu phobin yang berfungsi mengumpulkan penonton. Bagian kedua diisi dengan menampilkan lagu-lagu hiburan atau “lagu sayur”. Bagian ini berfungsi sebagai selingan sebelum ngeerancag dimulai. Kedua jenis lagu ini sama dengan yang dinyanyikan dalam gambang kromong.

Bagian ketiga rancag. Lagu-lagu yang dibawakan dalam merancag adalah Dendang Surabaya, Gelatik Nguknguk, Persi, Phobin Jago, Phobin Tintin dan Phobin Tukang Sado.

            Gamelan Ajeng 



Gamelan Ajeng merupakan merupakan folklorik Betawi yang mendapat pengaruh dari musik Sunda. Beberapa daerah di pasundan terdapat pula gamelan ajeng. Meski begitu perkembangan kemudian membedakan gamelan ajeng di Betawi dan gamelan serupa di Pasundan.

Alat musik gamelan ajeng terdiri dari kromong sepuluh pencin, terompet, gendang (dua gendang besar dan dua kulanter), dua saron, bende, cemes (semacam cecempres), dan kecrek. Kadang-kadang ada juga yang menggunakan dua gong: gong laki dan gong perempuan.

Gamelan Ajeng biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan, seperi khitanan atau perkawinan. Pada mulanya tidak biasa digunakan sebagai pengiring tarian. Tapi pada perkembangannya kemudian digunakan sebagai pengiring tarian yang disebut “Belenggo Ajeng”.

            Gamelan Topeng

Gamelan Topeng adalah seperangkat gamelan untuk mengiringi topeng Betawi, sebagaimana Gambang Kromong untuk mengiringi pertunjukan lenong. 

Gamelan Topeng merupakan penyederhanaan dari gamelan lengkap. Terdiri dari rebab, sepasang gendang )gendang besar dan kulanter), ancang kenong berpencong tiga, kecrek, kempul yang digantung dan sebuah gong tahang atau gong angkong.

Lantaran penyederhanaan ini Gamelan Topen bisa dibawa berkeliling untuk “ngamen” dari kampung ke kampung, terutama pada saat perayaan tahun baru, baik masehi maupun Imlek, sebagaimana dilakukan rombongan Haji Bokir pada era 1950-an.

            Keroncong Tugu

Keroncong Tugu dahulu sering disebut Cafrinho Tugu. Orang-orang keturunan Portugis (mestizo) telah memainkan musik ini sejak 1661. Pengaruh Portugis dapat diketahui dari jenis irama lagunya, seperti moresko, frounga, kafrinyo, dan nina bobo.

Keroncong Tugu tidak jauh beda dengan keroncong pada umumnya. Tapi juga bukan sama persis. Keroncong Tugu berirama lebih cepat. Irama yang lebih cepat ini disebabkan oleh suara ukulele yang dimainkan dengan cara menggaruk seluruh senarnya. Sementara keroncong Solo atau Yogya berirama lebih lambat

Keroncong Tugu pada mulanya dimainkan oleh tiga atay empat orang. Alat musiknya hanya tiga buah gitar yaitu gitar Frounga yang berukuran besar dengan empat dawai, gita Monica yang berukuran sedang dengan 3-4 dawai, dan gitar Jitera yang berukuran kecil dengan lima dawai. Selanjutnya alat musik Keroncong Tugu ditambah dengan suling, biola, rebana, mandolin, cello, kempul dan triangle.

Dulu keroncong ini sering membawakan lagu berirama melan€kolis, diperluas dengan irama pantun, irama stambul, irama melayu, langgam keroncong, dan langgam jawa. Syair lagu-lagunya kebanyakan masih menggunakan bahasa Portugis, yang cara pengucapannya sudah terpengaruh dialek Betawi Kampung Tugu.

Di atas pentas para pemainnya selalau berpenampilan khas. Yang laki-laki mengenakan baju koko putih, celana batik, dan tutup kepala cemacam baret. Mereka juga selalu memakai semacam syal yang melingkari leher.

            Tanjidor

Musik Tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke-14 hingga 16. Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik untuk tuannya. Sejarawan Belanda Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kolonial.

Alat musik yang mereka gunakan antara lain klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bas drum, tambur, dan simbal.  Ketika perbudakan dihapuskan pada 1860, pemain musik itu membentuk perkumpulan musik. Lahirlah perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor.

Lagu-lagu yang dibawakan tanjidor antara lain battalion, kramton,  bananas, delsi, was tak tak, welmes, dan cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Lagu-lagu tanjidor juga diperkaya dengan lagu-lagu gambang kromong. Karena itu instrumennya bisa ditambah dengan tehyan, rebana, beduk, kendang, kecrek, kempul dan gong.

            Orkes Samrah


Samrah telah berkembang di Jakarta sejak abad ke-17. Asalnya dari Melayu. Itu dimungkinkan karena salah satu suku yang menjadi cikal bakal orang Betawi adalah Melayu. Samrah berasal dari kata bahasa Arab, Samarokh, yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Oleh orang Betawi diucapkan menjadi samrah atau sambrah.

Orkes Samrah adalah ansambel musik Betawi. Instrumen musiknya antara lain harmonium, biola, gitar, string bas, tamborin, marakas, banyo dan bas betot. Harmonium, yang kini sudah langka, dominan dalam lagu yang disajikan.  Karena itu, orkes samrah disebut juga sebagai orkes harmonium.

Kostum yang dipakai pemain samrah ada dua macam yakni peci, jas dan kain pelekat atau baju sadariah dan celana batik. Sekarang ditambah lagi satu model yang sebenarnya model lama, “jung serong” (ujungnya serong), yang terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas kerah tutup dengan panetolan satu warna dan sepotong kain batik yang dililitkan di abwah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyembul ke bawah.

             Orkes Gambus


Orkes Gambus yang dahulu dikenal dengan sebutan irama Padang Pasir, diperkirakan sudah ada di Betawi sejak awal abad ke-19.

Saat itu banyak imigran dari Hadramaut (Yaman Selatan) dan Gujarat datang ke Betawi. Jika walisongo menggunakan gamelan sebagai sarana dakwah, imigran Hadramaut menggunakan gambus.

Peralatan musik gambus bervariasi, tapi yang baku umumnya terdiri dari gambus, biola, dumbuk, suling, organ atau akordion, dan marawis.

             Sampyong


Sebagai orkes tanpa laras, sampyong merupakan musik rakyat Betawi pinggiran yang paling sederhana dibandingkan dengan musik Betawi lainnya. Nama musik ini berasal dari nama salah satu alat musik yaitu sampyong, semacam kordofan bambu berdawai dua ruas.

Alat musik lainnya adalah sejenis gambang empat bilah terbuat dari bambu kayu dengan ancaknya (talam dibuat dari anyaman bambu, lidi atau lidi nyiur) terbuat dari gedebog pisang. Ada pula yang menambahnyadengan dua buah tanduk kerbau yang dibunyikan dengan cara diaduk-adukan.

Orkes ini biasa dipergunakan untuk mengiringi pertandingan ujangan, yaitu dua orang bertanding saling memukul dengan rotan sebesar ibu jari kaki yang didahului dengan tarian uncul.

            Marawis

Marawis adalah salah satu jenis “band tepok” dengan perkusi sebagai alat musik utamanya.

Nama marawis diambil dari nama alat musik yang dipergunakan kesenian ini. Alat musik tersebut ada tiga jenis yakni pertama, perkusi rebana/kendang ukuran kecil yang garis tengahnya 10 cm, tinggi 17 cm, dan kedua kendangnya tertutup. Inilah yang disebut marawis (paling sedikit dipergunakan empat buah).

Kedua, perkusi besar (tinggi 50 cm, garis tengah 10 cm yang disebut hadir dengan kedua kendangnya tertutup. Ketiga, papan tepok.

            Rebana
Rebana terbilang kesenian yang cukup popular di Jakarta. Di daerah lain terutama di Jawa, alat musik bermembran ini disebut terbang. Sebutan rebana diduga berasal dari kata arab robbana (Tuhan kami). Sebutan ini muncul karena alat musik ini biasa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu bernafaskan Islam.

Berdasarkan jenis alat, sumber syair, wilayah penyebaran dan latar belakang sosial pendukungnya, rebana Betawi terdiri atas  Rebana Biang, Rebana Ketimpring, Rebana Ngarak, Rebana Maulid, Rebana Hadroh, Rebana Dor, Rebana Kasidah, Rebana Maukhid, dan Rebana Burdah. (Profil Seni Budaya Betawi/ab)

Senin, 22 April 2013

MP-PBB, MITRA PENGELOLA PBB SETU BABAKAN

Logo MP-PBB


Tahukah kita bahwa saat ini sudah terbentuk lembaga swadaya masyarakat Masyarakat Peduli Perkampungan Budaya Betawi (MP-PBB) Setu Babakan. Bahkan pada Mei tahun ini, usinya sudah mencapai dua tahun.


“Bayi” ini memang belum banyak berbuat. Namun bisa dipastikan bahwa ia memiliki niat dan komitmen memajukan perannya dalam menjaga dan melestarikan budaya Betawi di Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan.


Karena itu MP-PBB terus melakukan konsolidasi baik internal maupun eksternal agar lebih dikenal masyarakat, khususnya masyarakat Betawi.


Bagi organisasi itu, keterkenalan dan aktualisasi di masyarakat merupakan salah satu masalah yang dihadapi. Lembaga yang berdiri pada 17 Mei 2011 dengan akte-notaris No 4 tahun 2011, bukan hanya menghadapi masyarakat umum, tapi juga khususnya masyarakat Betawi.


MP-PBB didirikan untuk menjadi mitra Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (LP-PBB), yang dibentuk berdasarkan Perda No.3/2005 pasal 11.  Pengurus LP-PBB terdiri dari unsur masyarakat dan instansi di lingkungan Pemda DKI dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan atau stakeholder.


Mengenai Perkampungan Budaya Betawi (PBB), perkampungan itu dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.92 Tahun 2000 Tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi Di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan.


PBB Setu Babakan merupakan kawasan dengan luas sekitar 289 hektare yang merupakan wilayah pelestarian alam lingkungan ekosistem serta seni budaya tradisional masyarakat Betawi dengan tidak menghambat perkembangan warganya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.


Kehadirannya di tengah hiruk pikuk kota Jakarta kian terasa istimewa karena perkampungan ini memiliki beragam fungsi yang tidak saja sebagai sarana pariwisata, juga sebagai sarana seni dan budaya, informasi serta penelitian.


Pertanyaan yang berkaitan dengan PBB Setu Babakan adalah, akankah sejarah gagalnya pembentukan cagar budaya Condet terulang lagi? dan masyarakat Betawi beserta budayanya akan menjadi sekedar aksesoris dan komoditas?  Ataukah, PBB dapat berperan sebagai "palang pintu terakhir" bagi eksistensi budaya dan masyarakat Betawi di Ibukota Negara ini?


Dengan adanya tokoh-tokoh masyarakat di balik pembentukan MP-PBB itu, masalah eksistensi dan aktualisasi organisasi seharusnya sudah selesai. Namun, ternyata upaya lebih keras masih harus dilakukan agar keberadaan organisasi dan tujuan organisasi itu diketahui oleh masyarakat.


Bagi pengurus MP-PBB, upaya menggugah kesadaran mayarakat Jakarta, khususnya Betawi untuk menunjukkan eksistensi dan aktualisasi MP-PBB dalam menjaga dan melestarikan budaya Betawi di Setu Babakan, sudah sering dilakukan.


MP-PBB juga sudah memastikan bahwa wadah tersebut bukan buat "ngebanyakin" apalagi "nyaingin" lembaga-lembaga kebetawian lainnya. Lembaga itu akan lebih berperan sebagai mitra dialog Pemda, DPRD dan bersinergi dengan semua lembaga yang sudah ada. Wadah ini terbuka lebar bagi yang peduli, buat menjaga, memelihara dan mengembangkan kekayaan budaya ini di tanah  leluhurnya sendiri.


Tentang LP-PBB, kendati Gubernur DKI Jakarta telah membentuknya melalui peraturannya, namun kewenangan yang dimiliki oleh lembaga untuk mengelola dan menata kawasan masih serba terbatas seiring dengan tumpang tindih dan banyaknya pemangku kepentingan baik di internal Pemda maupun instansi terkait.


Belum lagi masalah perluasan lahan untuk kegiatan berkesenian, akses jalan dan perparkiran yang tidak memadai serta infrastruktur lainnya.


Berangkat dari pemikiran itu, muncul gagasan untuk membentuk forum yang diharapkan berfungsi sebagai mitra lembaga pengelola, mitra Pemprov DKI serta instansi terkait lainnya dalam upaya melestarikan budaya Betawi dan lingkungan hidup yang asri.


Maka pada 17 Mei 2011, dengan didukung oleh tokoh-tokoh betawi yang  concern, di Setu Babakan dideklarasikan berdirinya MP-PBB. Dalam perjalanannya, wadah ini kemudian menjelma menjadi LSM MP-PBB dengan akta notaris No.4 tahun 2011.


Berkaitan dengan pelestarian dan pengembangan budaya Betawi, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sendiri sudah menunjukkan komitmennya.


Komitmen itu sepertinya menjawab keresahan di sebagian tokoh dan masyarakat Betawi, yang merupakan "tuan rumah" di Kota Metropolitan, atas minimnya ruang dan lokasi bagi orang Betawi dalam menancapkan eksistensinya di Ibu Kota, khususnya dalam berkebudayaan.


Sementara budayawan Betawi Ridwan Saidi pernah mengatakan bahwa pelestarian komunitas Betawi harus menjadi agenda penting dalam pembangunan ibukota Jakarta guna membantu orang Betawi melestarikan budayanya.


Kini MP-PBB memasuki usia dua tahun. "Bayi" itu masih memerlukan dukungan dan perhatian masyakat, khususnya masyarakat Betawi.

Dengan adanya perhatian itu, diharapkan keberadaan “bayi” tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat. Dan dengan bantuan masyarakat, tekad lembaga itu untuk membantu menjaga dan melestarikan budaya Betawi bisa terwujud.(ab)
 

Kamis, 04 April 2013

BUDAYA BETAWI BERPERAN GAK SIH?


Pertanyaan yang seringkali muncul saat ini di benak masyarakat DKI Jakarta, khususnya masyarakat Betawi, adalah bagaimana sebenarnya peran kebudayaan Betawi bagi pemerintah daerah DKI Jakarta. Apalagi, peran etnis selain Betawi di Ibukota itu kini cukup mengambil peran .
 
Sebuah karya tulis sekelompok mahasiswa di Jakarta menyatakan, tanpa disadari, mau tidak mau kebudayaan Betawi mengambil peranan tersendiri bagi di Metropolitan, misalnya dalam pariwisata daerah DKI Jakarta saat ini.  Makalah itu sendiri berjudul “Minimnya Pengakuan Pemerintah DKI Jakarta Terhadap Keberadaan Etnis dan Budaya Betawi”.

Dikatakan, kebudayaan Betawi itu masih berperan antara lain dengan banyaknya penampilan seni tari dan musik Betawi yang dipertunjukkan. Selain itu ondel-ondel, abang-none, bahkan sampai penggunaan pakaian adat Betawi pada acara besar tertentu.

Bahkan kini ada edaran Gubernur DKI Jakarta yang mengharuskan pegawai negeri sipil (PNS) DKI Jakarta untuk mengenakan pakaian Betawi pada hari kerja tertentu. Ini membuktikan bahwa kebudayaan Betawi masih mewarnai sebagian besar pariwisata kota Jakarta.

Dari sisi kuliner, katanya, Betawi juga masih mengambil andil dalam keseharian Jakarta. Mulai dari nasi uduk yang dinikmati oleh sebagian besar kalangan menengah ke bawah untuk sarapan dan pada perayaan tertentu, Nasi kebuli yang sering dijadikan santapan bagi komunitas Arab, yang dimasak dengan kuah daging dan rempah-rempah, sampai pada makanan ringan yang sering dijadikan sebagai oleh-oleh yaitu dodol Betawi.

Semuanya mengambil porsi tersendiri dalam mewarnai kehidupan di kota besar Jakarta.  Namun dengan banyaknya pendatang yang datang ke Jakarta serta ikut mengembangkan budaya daerahnya di Metropolitan ini ,mengakibatkan peran kebudayaan Betawi kian memudar.  Seiring berjalannya waktu, masuknya masyarakat dari daerah dan etnis lain mengakibatkan masyarakat Betawi kian terdorong ke pinggiran kota.

Meski masyarakat Betawi secara kasat mata telah terpinggirkan, namun pada nyatanya, kebudayaan yang dimiliki oleh etnis Betawi tetap mengakar kuat di daerah Jakarta. Putri Indonesia wakil dari Jakarta, misalnya, masih menggunakan pakaian adat Betawi. Selain itu adanya sambutan baik terhadap acara pemilihan abang-none di daerah DKI Jakarta. Semua itu mengindikasikan bahwa kebudayaan Betawi, baik dari pakaian adat, kuliner, sampai pada kesehariannya masih mengambil peranan tersendiri di daerah DKI Jakarta.

Namun, menurut makalah itu, kebudayaan Betawi yang masih digunakan dan ikut mewarnai dunia pariwisata dan keseharian bagi sebagian masyarakat, khususnya menengah ke bawah, kurang mendapat apresiasi oleh pemerintah daerah DKI Jakarta.

Banyak alasan yang dikemukakan terkait masalah ini. Salah satunya yaitu banyaknya etnis baru yang berimigrasi ke Ibukota, sehingga mengakibatkan adanya pergeseran nilai-nilai budaya Betawi yang sedikit demi sedikit digantikan oleh budaya lain.

Memang, pada dasarnya penduduk Betawi sejak awal sudah sangat heterogen. Kesenian Betawi lahir dari perpaduan berbagai unsur etnis dan suku bangsa yang ada di Betawi. Akan tetapi pencetusan budaya yang mengatasnamakan Betawi, baru terjadi pada abad ke-2, sebelum etnis-etnis lainnya menggunakan dan mengatasnamakan budaya tersebut sebagai hak miliknya.

Masuknya etnis Sunda, Jawa, Batak, Minang, dan lain sebagainya ke Jakarta merupakan faktor  utama tergesernya masyarakat Betawi. Kebanyakan masyarakat Betawi, terutama kelas menengah ke bawah, bertempat tinggal di daerah pinggiran kota. Sedangkan pada pusat kota ditempati oleh masyarakat kelas menengah ke atas, yang nyatanya bukanlah orang Betawi asli.

Pergeseran etnis Betawi oleh etnis pendatang ini, kata makalah itu, mengakibatkan adanya permasalahan pengakuan keberadaan mereka di DKI Jakarta, yang berimbas pada rendahnya kesadaran Pemerintah, misalnya  dalam menurunkan dana kompesasi untuk masyarakat adat Betawi. 

Dana kompensasi untuk masyarakat adat Betawi merupakan keniscayaan sebagai konsekuensi pengakuan keberadaan mereka. Dana tersebut dapat dimasukkan dalam pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta untuk mengembangkan dimensisosial budaya masyarakat adat Betawi setelah lama termarjinalisasi di tengah Metropolitan. 
 
Karena itu dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan pariwisata sebaiknya pemerintah DKI Jakarta lebih melihat etnis mana yang lebih berkontribusi dan memberikan perannya dalam mengembangkan pariwisata di daerah, bahkan mungkin di tingkat nasional. Bagi etnis yang memang memberikan andil yang cukup besar, sudah sepatutnya pemerintah daerah memberikan apresiasi.

Jadi, menurut sekelompok mahasiswa itu, budaya Betawi masih berperan di Jakarta karena itu Pemda DKI juga harus mengapresiasinya .  (ab)