Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Kamis, 04 April 2013

BUDAYA BETAWI BERPERAN GAK SIH?


Pertanyaan yang seringkali muncul saat ini di benak masyarakat DKI Jakarta, khususnya masyarakat Betawi, adalah bagaimana sebenarnya peran kebudayaan Betawi bagi pemerintah daerah DKI Jakarta. Apalagi, peran etnis selain Betawi di Ibukota itu kini cukup mengambil peran .
 
Sebuah karya tulis sekelompok mahasiswa di Jakarta menyatakan, tanpa disadari, mau tidak mau kebudayaan Betawi mengambil peranan tersendiri bagi di Metropolitan, misalnya dalam pariwisata daerah DKI Jakarta saat ini.  Makalah itu sendiri berjudul “Minimnya Pengakuan Pemerintah DKI Jakarta Terhadap Keberadaan Etnis dan Budaya Betawi”.

Dikatakan, kebudayaan Betawi itu masih berperan antara lain dengan banyaknya penampilan seni tari dan musik Betawi yang dipertunjukkan. Selain itu ondel-ondel, abang-none, bahkan sampai penggunaan pakaian adat Betawi pada acara besar tertentu.

Bahkan kini ada edaran Gubernur DKI Jakarta yang mengharuskan pegawai negeri sipil (PNS) DKI Jakarta untuk mengenakan pakaian Betawi pada hari kerja tertentu. Ini membuktikan bahwa kebudayaan Betawi masih mewarnai sebagian besar pariwisata kota Jakarta.

Dari sisi kuliner, katanya, Betawi juga masih mengambil andil dalam keseharian Jakarta. Mulai dari nasi uduk yang dinikmati oleh sebagian besar kalangan menengah ke bawah untuk sarapan dan pada perayaan tertentu, Nasi kebuli yang sering dijadikan santapan bagi komunitas Arab, yang dimasak dengan kuah daging dan rempah-rempah, sampai pada makanan ringan yang sering dijadikan sebagai oleh-oleh yaitu dodol Betawi.

Semuanya mengambil porsi tersendiri dalam mewarnai kehidupan di kota besar Jakarta.  Namun dengan banyaknya pendatang yang datang ke Jakarta serta ikut mengembangkan budaya daerahnya di Metropolitan ini ,mengakibatkan peran kebudayaan Betawi kian memudar.  Seiring berjalannya waktu, masuknya masyarakat dari daerah dan etnis lain mengakibatkan masyarakat Betawi kian terdorong ke pinggiran kota.

Meski masyarakat Betawi secara kasat mata telah terpinggirkan, namun pada nyatanya, kebudayaan yang dimiliki oleh etnis Betawi tetap mengakar kuat di daerah Jakarta. Putri Indonesia wakil dari Jakarta, misalnya, masih menggunakan pakaian adat Betawi. Selain itu adanya sambutan baik terhadap acara pemilihan abang-none di daerah DKI Jakarta. Semua itu mengindikasikan bahwa kebudayaan Betawi, baik dari pakaian adat, kuliner, sampai pada kesehariannya masih mengambil peranan tersendiri di daerah DKI Jakarta.

Namun, menurut makalah itu, kebudayaan Betawi yang masih digunakan dan ikut mewarnai dunia pariwisata dan keseharian bagi sebagian masyarakat, khususnya menengah ke bawah, kurang mendapat apresiasi oleh pemerintah daerah DKI Jakarta.

Banyak alasan yang dikemukakan terkait masalah ini. Salah satunya yaitu banyaknya etnis baru yang berimigrasi ke Ibukota, sehingga mengakibatkan adanya pergeseran nilai-nilai budaya Betawi yang sedikit demi sedikit digantikan oleh budaya lain.

Memang, pada dasarnya penduduk Betawi sejak awal sudah sangat heterogen. Kesenian Betawi lahir dari perpaduan berbagai unsur etnis dan suku bangsa yang ada di Betawi. Akan tetapi pencetusan budaya yang mengatasnamakan Betawi, baru terjadi pada abad ke-2, sebelum etnis-etnis lainnya menggunakan dan mengatasnamakan budaya tersebut sebagai hak miliknya.

Masuknya etnis Sunda, Jawa, Batak, Minang, dan lain sebagainya ke Jakarta merupakan faktor  utama tergesernya masyarakat Betawi. Kebanyakan masyarakat Betawi, terutama kelas menengah ke bawah, bertempat tinggal di daerah pinggiran kota. Sedangkan pada pusat kota ditempati oleh masyarakat kelas menengah ke atas, yang nyatanya bukanlah orang Betawi asli.

Pergeseran etnis Betawi oleh etnis pendatang ini, kata makalah itu, mengakibatkan adanya permasalahan pengakuan keberadaan mereka di DKI Jakarta, yang berimbas pada rendahnya kesadaran Pemerintah, misalnya  dalam menurunkan dana kompesasi untuk masyarakat adat Betawi. 

Dana kompensasi untuk masyarakat adat Betawi merupakan keniscayaan sebagai konsekuensi pengakuan keberadaan mereka. Dana tersebut dapat dimasukkan dalam pos Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta untuk mengembangkan dimensisosial budaya masyarakat adat Betawi setelah lama termarjinalisasi di tengah Metropolitan. 
 
Karena itu dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan pariwisata sebaiknya pemerintah DKI Jakarta lebih melihat etnis mana yang lebih berkontribusi dan memberikan perannya dalam mengembangkan pariwisata di daerah, bahkan mungkin di tingkat nasional. Bagi etnis yang memang memberikan andil yang cukup besar, sudah sepatutnya pemerintah daerah memberikan apresiasi.

Jadi, menurut sekelompok mahasiswa itu, budaya Betawi masih berperan di Jakarta karena itu Pemda DKI juga harus mengapresiasinya .  (ab)
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar