Pertanyaan
yang seringkali muncul saat ini di benak masyarakat DKI Jakarta, khususnya
masyarakat Betawi, adalah bagaimana sebenarnya peran kebudayaan Betawi bagi
pemerintah daerah DKI Jakarta. Apalagi, peran etnis selain Betawi di Ibukota
itu kini cukup mengambil peran .
Sebuah
karya tulis sekelompok mahasiswa di Jakarta menyatakan, tanpa disadari, mau
tidak mau kebudayaan Betawi mengambil peranan tersendiri bagi di Metropolitan,
misalnya dalam pariwisata daerah DKI Jakarta saat ini. Makalah itu sendiri berjudul “Minimnya
Pengakuan Pemerintah DKI Jakarta Terhadap Keberadaan Etnis dan Budaya Betawi”.
Dikatakan,
kebudayaan Betawi itu masih berperan antara lain dengan banyaknya penampilan
seni tari dan musik Betawi yang dipertunjukkan. Selain itu ondel-ondel,
abang-none, bahkan sampai penggunaan pakaian adat Betawi pada acara besar
tertentu.
Bahkan
kini ada edaran Gubernur DKI Jakarta yang mengharuskan pegawai negeri sipil
(PNS) DKI Jakarta untuk mengenakan pakaian Betawi pada hari kerja tertentu. Ini
membuktikan bahwa kebudayaan Betawi masih mewarnai sebagian besar pariwisata
kota Jakarta.
Dari
sisi kuliner, katanya, Betawi juga masih mengambil andil dalam keseharian
Jakarta. Mulai dari nasi uduk yang dinikmati oleh sebagian besar kalangan
menengah ke bawah untuk sarapan dan pada perayaan tertentu, Nasi kebuli yang
sering dijadikan santapan bagi komunitas Arab, yang dimasak dengan kuah daging
dan rempah-rempah, sampai pada makanan ringan yang sering dijadikan sebagai oleh-oleh
yaitu dodol Betawi.
Semuanya
mengambil porsi tersendiri dalam mewarnai kehidupan di kota besar Jakarta. Namun dengan banyaknya pendatang yang datang ke
Jakarta serta ikut mengembangkan budaya daerahnya di Metropolitan ini ,mengakibatkan
peran kebudayaan Betawi kian memudar. Seiring
berjalannya waktu, masuknya masyarakat dari daerah dan etnis lain mengakibatkan
masyarakat Betawi kian terdorong ke pinggiran kota.
Meski
masyarakat Betawi secara kasat mata telah terpinggirkan, namun pada nyatanya,
kebudayaan yang dimiliki oleh etnis Betawi tetap mengakar kuat di daerah Jakarta.
Putri Indonesia wakil dari Jakarta, misalnya, masih menggunakan pakaian adat
Betawi. Selain itu adanya sambutan baik terhadap acara pemilihan abang-none di
daerah DKI Jakarta. Semua itu mengindikasikan bahwa kebudayaan Betawi, baik
dari pakaian adat, kuliner, sampai pada kesehariannya masih mengambil peranan
tersendiri di daerah DKI Jakarta.
Namun,
menurut makalah itu, kebudayaan Betawi yang masih digunakan dan ikut mewarnai
dunia pariwisata dan keseharian bagi sebagian masyarakat, khususnya menengah ke
bawah, kurang mendapat apresiasi oleh pemerintah daerah DKI Jakarta.
Banyak
alasan yang dikemukakan terkait masalah ini. Salah satunya yaitu banyaknya
etnis baru yang berimigrasi ke Ibukota, sehingga mengakibatkan adanya
pergeseran nilai-nilai budaya Betawi yang sedikit demi sedikit digantikan oleh
budaya lain.
Memang,
pada dasarnya penduduk Betawi sejak awal sudah sangat heterogen. Kesenian
Betawi lahir dari perpaduan berbagai unsur etnis dan suku bangsa yang ada di
Betawi. Akan tetapi pencetusan budaya yang mengatasnamakan Betawi, baru terjadi
pada abad ke-2, sebelum etnis-etnis lainnya menggunakan dan mengatasnamakan
budaya tersebut sebagai hak miliknya.
Masuknya
etnis Sunda, Jawa, Batak, Minang, dan lain sebagainya ke Jakarta merupakan
faktor utama tergesernya masyarakat
Betawi. Kebanyakan masyarakat Betawi, terutama kelas menengah ke bawah, bertempat
tinggal di daerah pinggiran kota. Sedangkan pada pusat kota ditempati oleh
masyarakat kelas menengah ke atas, yang nyatanya bukanlah orang Betawi asli.
Pergeseran
etnis Betawi oleh etnis pendatang ini, kata makalah itu, mengakibatkan adanya
permasalahan pengakuan keberadaan mereka di DKI Jakarta, yang berimbas pada rendahnya
kesadaran Pemerintah, misalnya dalam
menurunkan dana kompesasi untuk masyarakat adat Betawi.
Dana
kompensasi untuk masyarakat adat Betawi merupakan keniscayaan sebagai konsekuensi
pengakuan keberadaan mereka. Dana tersebut dapat dimasukkan dalam pos Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta untuk mengembangkan dimensisosial
budaya masyarakat adat Betawi setelah lama termarjinalisasi di tengah Metropolitan.
Karena itu dalam
membuat kebijakan yang berkaitan dengan pariwisata sebaiknya pemerintah DKI
Jakarta lebih melihat etnis mana yang lebih berkontribusi dan memberikan
perannya dalam mengembangkan pariwisata di daerah, bahkan mungkin di tingkat
nasional. Bagi etnis yang memang memberikan andil yang cukup besar, sudah
sepatutnya pemerintah daerah memberikan apresiasi.
Jadi,
menurut sekelompok mahasiswa itu, budaya Betawi masih berperan di Jakarta
karena itu Pemda DKI juga harus mengapresiasinya . (ab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar