Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Kamis, 23 Juni 2016

BUNG KARNO KRITIK BECAK PADA HUT JAKARTA

Antara Doeloe - HUT Jakarta, Bung Karno kritik betjak
ilustrasi - Becak (ANTARA FOTO/R. Rekotomo)

Sejumlah tukang becak berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta pada awal tahun ini. Mereka minta supaya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menghentikan penggarukan becak.

Mereka juga minta agar pemda merevisi Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, khususnya pasal yang menyebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang membuat, merakit, menjual, dan memasukkan, serta mengoperasikan dan menyimpan becak.

Keberadaan becak di Jakarta masih menjadi kontroversi sejak pemerintah menerbitkan Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Pola Dasar dan Rencana Induk Jakarta 1965-1985. Peraturan itu tidak mengakui becak sebagai kendaraan umum. Selain dianggap sebagai biang keladi ketidaktertiban lalu lintas, becak dinilai cermin eksploitasi manusia atas manusia. 
Namun, masyarakat berpendapat lain. Mereka menganggap kendaraan itu dibutuhkan untuk melayani masyarakat seperti antar jemput anak sekolah dan ibu-ibu yang pergi ke pasar.

Berkaitan dengan becak, Pusat Data dan Riset ANTARA pada Rabu (22/6/2016) merilis berita Antara yang berisi pernyataan Presiden Sukarno tentang becak pada hari ulang tahun Jakarta tanggal 22 Juni 1962 melalui portal antaranews.com:

Presiden Sukarno dalam pidato jang diutjapkannja pada upatjara memperingati Hari Ulangtahun Kota Djakarta ke-435 di Gedung Olahraga, menjinggung masalah transport menjebut bahwa masih banjaknja betjak di Djakarta sangat merendahkan martabat bangsa Indonesia.

Betjak, dikatakannya merupakan penghisapan manusia oleh manusia jang sangat merendahkan deradjat bangsa Indonesia.

Tokiolah asal betjak mula2. Tetapi disana kini hanya ada 8 buah betjak, jang disediakan bagi orang2 kaja untuk mendatangkan geisha. Menurut keterangan, inipun akan dilarang sama sekali.

Presiden berseru supaja pemuda2 djangan mau mendjadi tukang betjak, sekalipun mungkin mendapat bajar seharinja lebih dari apa jang didapat oleh seorang pegawai tinggi.

"Djangan mau mendjual djiwa, mendjadi objek exploitation de l'homme par l'homme.Tjarilah djalan lain untuk keperluan hidup, apa sadja."

Mengenai lambang baru Djakarta Raja (sebuah tugu ditengah, diapit oleh setangkai padi dan setangkai kapas) dengan tulisan dibagian atas "Djaja Raja", Presiden bertanja:spelling apakah jang harus kita pakai.

Pertanjaan ini dikemukakan oleh Bung Karno berdasarkan kenjataan bahwa Menteri Prof. Prijono telah merentjanakan edjaan baru, sedang tulisan diatas sebuah lambang tidak baik kalau berubah-ubah.

Tulisan itu harus tetap, dan djangan sampai kelak dibatja secara keliru.

Mengenai tugu nasional jang mulai dibangun, Presiden mengatakan bahwa didalam bangunan ini akan pula dibangun sebuah museum nasional, deimana akan dipertundjukkan setjara visuil seluruh stadia perikehidupan nasional sedjak dulu.

Djakarta harus pula mendjadi mertju suar bagi Indonesia, serupa dengan Swadagon Pagoda bagi Birma. (ab)