Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Senin, 28 Januari 2013

JAGO BETAWI MUNCUL TERUS…

Istilah jago pada awalnya melekat pada masalah perkelahian, sehingga jago diartikan sebagai juara berkelahi. Namun dalam perkembangannya, kata jago juga bisa dikaitkan dengan keunggulan.

Mungkin sama dengan suku bangsa lain di Negara tercinta ini, penduduk asli DKI Jakarta yakni orang Betawi memiliki jago-jago dengan dua pengertian tersebut. Mereka adalah aset Betawi dalam memperkaya khasanah kebudayaan dan sejarah nasional.

Pada abad 19 yang disebut jago Betawi, menurut Ridwan Saidi dalam bukunya Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta, adalah semacam jawara kampung yang menjadi palang dade, benteng penghalang orang yang datang dari luar dan mencoba menggangu keamanan kampung, atau mau “menjajal ” kekuatan jago bersangkutan.

Jago Betawi adalah jago silat. Misalnya saja Ja’man dari Sawah Besar, Derahman Jeni dari Tanah Abang dan Sa’abun dari Kemayoran. Jago Betawi tidak pernah “menjual”, menantang-nantang, tetapi bersedia “membeli” jika ada yang “menjual”.

“Tradisi tersebut bertahan terus sampai abad ke-20. Yaitu tradisi positif, ketika para jago tidak agresif, apalagi berbuat kriminal,” kata Ridwan Saidi yang juga budayawan Jakarta.

Kemudian, kata Ridwan, ada juga Muhammad Dahrif, jago Klender yang mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat. Dahrif tidak memiliki catatan kejahatan. Berkat pasukan Dahrif, maka gerak maju pasukan NICA ke arah timur, front Bekasi-Kerawang, dapat dihadang.

Selain Dahrif juga ada Kyai Nur Ali Bekasi. Tokoh ulama ini memberikan sugesti agamawi bagi perlawanan rakyat terhadap Belanda.

Di pusat kota, yaitu kawasan Senen dan sekitarnya ada Imam Syafi’i yang memimpin para pemuda Senen menghadapi front  terdepan. Di Kramat Sentiong ada Icang yang pernah menggempur jantung pertahanan Belanda di markas Batalion 10 KNIL, Lapangan Banteng.

Mereka sebelumnya dikenal sebagai jago, dan tidak mempunyai catatan yang bernoda. Tatkala dibuka kesempatan bagi pemuda penjuang untuk memasuki ketentaraan maka Syafi’i dan Icang mendaftarkan diri sebagai anggota TNI. Adapun Dahrif seusai revolusi fisik terjun dalam partai politik IPKI.

Kalau Icang tewas dalam tugas menumpas pemberontakan PKI di Madiun 1948, maka Syafi’i di bidang militer mencapai pangkat Overste. Ia amat mengetahui liku-liku keamanan ibukota, dan ia banyak membantu tugas kepolisian. Mungkin karena itu Bung Karno pada 1966 mengangkat Overste Imam Syafi’i sebagai salah seorang menteri dalam Kabinet 100 menteri.

Selain mereka itu, juga ada tipe jago yang lain di Betawi, misalnya M. Husni Thamrin. Jumlah  jago dengan tipe seperti M Husni Thamrin pada saat ini makin banyak dan bidangnya pun makin beragam.

Menurut Ridwan Saidi, Husni Thamrin dikenal sebagai tokoh yang pernah ikut serta mengatur pemerintahan kota Batavia di samping sebagai wet hounder, juga sebagai locobur germeester, mempunyai kekuasaan eksekutif yang bersifat lokal dalam arti penduduk pribumi, bukan dalam pengertian kewilayahan.

Orang Betawi lain yang pernah ikut menangani pemerintahan kota Jakarta adalah Syafi’ie yang menjadi wakil gubernur di zaman Ali Sadikin, dan Asmawi Manaf, wakil gubernur di zaman Tjokropranolo serta Fauzi Bowo menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta, setelah sebelumnya ia menjadi wakil gubernur dengan gubernur Sutiyoso.

Di bidang ketentaraan juga ada putera Betawi yang pernah mencapai pangkat letnan jenderal. Ia adalah Letjen TNI (Purn) Muhammad Sanif. Semasa aktif, ia pernah menjabat Pangdam Bukit barisan.  Juga ada Mayjen TNI (Purn) H Nachrowi Ramli yang kini memimpin Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi.

Selain itu, putera-putera Betawi juga tercatat di bidang-bidang lain, seperti di bidang perbankan tampil Abdullah Ali, pernah menjadi Direktur Utama Bank BCA, dan di bidang keilmuan mencuat nama Prof Dr MK Tadjudin yang pernah menjadi Rektor Universitas Indonesia (UI).

Zaman telah berubah. Masyarakat Betawi dengan segala kekenyalannya pun berubah. Namun yang pasti jago-jago Betawi itu selalu ada.

Bencana banjir yang menimpa Jakarta pada pertengahan Januari 2013 juga memunculkan jago-jago baru dalam bentuk sukarelawan pembantu korban banjir. Warga Betawi, bersama warga lainnya, menunjukkan peran mereka sebagai warga masyarakat yang peduli terhadap sesama.

Sementara itu, salah satu wadah tempat berkumpulnya calon jago-jago Betawi itu adalah Keluarga Mahasiswa Betawi (KMB). Organisasi ekstra kampus yang berdiri pada 1976 itu anggotanya terdiri atas para intelektual Betawi yang merupakan aset bangsa.

Setelah lulus dari perguruan tinggi, mereka turut berperan di sejumlah bidang seperti pemerintahan, parlemen, pendidikan, dunia usaha, dan kebudayaan.

Jago-jago Betawi bakal terus bermunculan. (*)

Kamis, 17 Januari 2013

BANJIR DI JAKARTA, RIWAYATMU DULU DAN KINI…



Jakarta dikepung banjir. Jakarta tanpa harapan. Demikian antara lain judul laporan sejumlah media nasional tentang musibah banjir yang melanda DKI Jakarta, ibu kota Republik Indonesia, pada pertengahan Januari ini.
 
Sejumlah media melaporkan peristiwa banjir itu, bahkan sejumlah TV swasta memasukkan laporan itu dalam program “breaking news”,  yang menyiarkan  informasi penting yang perlu diketahui masyarakat segera.

Riuhnya laporan tentang bencana itu, makin bertambah jika ditambah dengan kicauan di media sosial seperti Twitter dan Facebook. Suasana juga makin ramai jika kita membaca  bilik komentar yang disiapkan pengelola media online atas suatu berita.

Salah satu yang muncul adalah “perang” antara pendukung atau simpatisan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta saat ini dengan bukan pendukung atau simpatisannya. Saling menggugat kemampuan kepemimpinan mereka bertebaran di media itu.

Semua saling menyalahkan bahwa banjir yang terjadi saat ini adalah tanggung jawab pemimpin DKI dan jajarannya. Baik, pimpinan saat ini maupun pemimpin pada masa sebelumnya.

Asal tahu saja, banjir sebenarnya sudah diprediksikan akan selalu melanda Jakarta, karena antara lain tinggi tanah di ibukota lebih rendah dari permukaan air laut. Karena itu, program mengatasi dan mengendalikan banjir selalu menjadi salah satu program pemimpin DKI Jakarta. Tidak hanya pemimpin saat ini, tapi juga sejak dulu.

Sejarawan Betawi, JJ Rizal, mencatat, waktu Sudiro menjadi pemimpin Jakarta pada 1953-1960, ketika beban Jakarta yang masih berstatus kota praja meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk dan permukiman kumuh,  sudah muncul ungkapan yang santer terdengar yakni “kalau musim panas kebakaran, kalau musim hujan kebanjiran”.

Karena itu, salah satu programnya adalah membuat dam yang direncanakan seluas 465 hektare untuk menanggulangi banjir , yang juga berfungsi sebagai hutan kota. Pada 1957, ia membuat rencana induk Jakarta. Rencana itu dimulai dengan menunjukkan masalah-masalah utama Jakarta dari urbanisasi, banjir, kesehatan, kemiskinan, perumahan, kemacetan, ruang terbuka hijau di sekitar permukiman umum, fasilitas sosial, ketersediaan air, sampah, hingga penurunan permukaan tanah.

Ketika Soemarno menjadi pemimpin Jakarta pada 1960-1964, ia sudah menghadapi salah satu kesukaran, yakni saat baru diangkat ia menghadapi bencana banjir besar dengan korban 40.704 orang di tujuh kelurahan. Grogol yang menjadi lokasi perumahan elit dan dibanggakan sebagai hunian anggota parlemen terendam hingga sepinggang orang dewasa dan di kampung-kampung sekitarnya ada yang seatap rumah.

Soemarno menyatakan bahwa banjir, sampah, dan kebakaran, serta gubuk liar, kampung liar dan kaki lima adalah kesatuan masalah besar Jakarta yang harus diselesaikan bersama. Ia melihat hal ini berkaitan sekali dengan kepadatan penduduk.

Pada saat menjadi Gubernur Jakarta pada 1965-1977, Ali Sadikin yang mendapat banyak catatan positif dalam kepemimpinannya, menyadari perlunya melihat banjir bukan sebagai takdi, sebagaimana pandangan MH Thamrin pada 1930-an.

Bang Ali pun tahu, rencana-rencana Thamrin untuk menanggulangi banjir sudah tidak mencukupi dan perlu suatu proyek besar. Tapi keterbatasan dana yang saat itu ditaksir mencapai Rp500 miliar hanya memungkinkan dilakukan pengerukan, normalisasi kali dan saluran, pembuatan waduk, pemindahan 3.000 bangunan liar di sisi kanal banjir, dan pemasangan pompa pembuangan. Pada 1976, Ali Sadikin terpukul saat banjir besar membuat dua juta lebih penduduk mengungsi.

Gubernur Jakarta selanjutnya adalah Tjokropranolo. Ia yang menjadi gubernur pada 1977-1982, menurut JJ Rizal, kebijakannya lebih mengarah ke populisme, antara lain dengan menjelma menjadi “bapak angkat” orang miskin.

Program penanggulangan atau mengatasi banjir tercatat kembali ketika Soeprapto menjadi Gubernur DKI pada 1982-1987 ketika penduduk Jakarta berjumlah 6,5 juta jiwa. Ketika itu ia membuat Master Plan Jakarta 1985-2005 atau RUTR dan rencana daerah atau rencana bagian wilayah kota (RBWK). Dalam master plan  ini, banyak sekali perhatian diberikan terhadap pengendalian banjir, saluran air, pengadaan dam, serta perbaikan  antara berbagai agen yang memastikan bahwa sungai-sungai bersih dijaga tetap bersih dari sampah, air buangan rumah tangga, dan limbah.

Banjir besar terjadi tiga kali pada Oktober 1995 hingga Februari 1996 ketika Jakarta dipimpin oleh Soerjadi Soedirdja. Banjir menewaskan 20 korban dan menyebabkan 135.000 rumah kebanjiran, sehingga menyengsarakan sekitar setengah juta orang. Bahkan kawasan elite di Jakarta Pusat juga terkena banjir.

Menurut Rizal, kerusakan akibat banjir 1996 itu adalah peringatan. Kawasan hijau tidak bisa begitu saja dimain-mainkan dalam selembar kertas berisi perhitungan anggaran. Sejak itu, katanya, kesadaran atas ancaman tersebut tumbuh di antara kelompok-kelompok penekan informal, tetapi sedikit sekali pada pengambil kebijakan, bahkan ketika Sutiyoso menjadi Gubernur Jakarta pada 1997-2002 dan 2002-2007.

Pada masa Sutiyoso, yang ketika menjadi gubernur krisis yang dipicu peristiwa Mei 1998 terjadi, ia juga mendapat amukan yang paling hebat yang didapat dari banjir. Pada Minggu, 27 Januari 2002, air bah melanda Jakarta. Korban sebanyak 80 orang dan kerusakan langsung diperkirakan senilai Rp5,4 triliun.  Masyarakat cepat melupakan banjir besar itu.

Ketika Fauzi Bowo menjadi gubernur periode 2007-2012 melalui pemilihan langsung, sejumlah pengamat dan media memetakan salah satu persoalan warga Jakarta adalah banjir. Buat Fauzi Bowo, yang akrab dipanggil Foke, pembangunan Kanal Banjir Timur, merupakan salah satu programnya yang dinilai berhasil dalam mengendalikan banjir di Jakarta.

Joko Widodo atau Jokowi, Gubernur DKI Jakarta terpilih periode 2012-2017, sudah menyatakan bahwa salah satu programnya adalah mengendalikan banjir. Dan, pemerintah pusat pun sudah menyatakan akan membantu Jakarta dalam menjalankan programnya itu.

Berkaitan dengan penanganan masalah banjir yang sangat merugikan masyarakat karena melumpuhkan semua kegiatan mereka, pertanyaannya adalah apakah Jakarta masa kini bakal sama seperti masa-masa sebelumnya ?  (*)

Jumat, 11 Januari 2013

DIALEK JAKARTA, “NGGAK ADE MATINYE”


“Ya iya lah, masa ya iya dong… duren aja dibelah, bukan dibedong.”  

Demikian nukilan lagu berjudul “Bukan Superstar” yang disenandungkan oleh Project Pop, kelompok penyanyi muda yang berasal dari Bandung, Jawa Barat.

Nukilan lagu “anak-anak jebolan universitas di Bandung” itu menunjukkan bagaimana mereka juga sudah biasa menggunakan dialek Jakarta, meski mereka tinggal di luar Jakarta.

“Lah”,  dan “dong”, juga “sih”, “doang”, “gue”, maupun “elu” adalah bagian yang tadinya hanya menandai “omong Betawi”. Namun kini juga sudah digunakan oleh orang yang bukan “orang Betawi”.

Dalam pengantarnya di Kamus Dialek Jakarta (Edisi Revisi) karya Abdul Chaer, Harimurti Kridalaksana mengatakan bahwa salah satu perkembangan bahasa yang sangat mencolok dewasa ini ialah makin besarnya pengaruh dan peranan dialek Melayu Jakarta dalam bahasa Indonesia.

Unsur-unsur dialek Jakarta sekarang menjadi bagian yang menonjol dari ragam tak resmi, baik lisan maupun tulisan dalam bahasa Indonesia dewasa ini di Jakarta maupun di luar Jakarta.

Ini disebabkan karena Jakarta adalah ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih dominan dan berwibawa dari daerah lain, bukan hanya di bidang politik, melainkan juga dalam segala aspek kehidupan kultural.

“Gaya hidup orang Jakarta menjadi standar bagi orang-orang di luar Jakarta. Segala olah dan tingkah orang Jakarta ditiru,” katanya.

Karena orang Jakarta mempunyai gaya khas dalam cakapnya, maka cakap Jakarta ini pun ditiru sehingga tersebarlah dialek Jakarta. Penyebaran ini diperluas oleh penyebaran media massa dari Jakarta.
      Karya besar
    
Menjelang akhir 1960-an sampai dengan 1970-an secara berturut-turut lahir satu per satu enam karya besar mengenai dialek Jakarta. Pada periode itu terbit empat disertasi dan dua kamus mengenai dialek tersebut. 

Berdasarkan catatan ahli linguistik dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Bambang Kaswanti Puro, keenam karya besar tersebut menjelaskan antara lain tentang seluk beluk dan lahirnya dialek yang kini disebut dialek Betawi atau dialek Jakarta.

Mereka adalah “Melayu Betawi Grammar”, disertasi University of Hawaii oleh Kay Ikranagara (1976);  “Linguistic and Social Dimensions of Phonological Variation in Jakarta Malay”, disertasi Cornell University oleh Stephen Wallace (1976); “Morfologi Dialek Jakarta”, disertasi Universitas Indonesia oleh Muhadjir (1977); dan “Jakarta Malay”, disertasi (dua jilid) Universitas Leiden (hasil penelitian 1968-1972, oleh C.D. Grijns (1991). 

Selain itu, “Worterverzeichnis des Omong Djakarta, oleh Hans Kahler (1966); “Kamus Dialek Jakarta oleh Abdul Chaer (1976) dan “Kamus Dialek Jakarta”, Edisi Revisi (2009). 

Tentang dialek Jakarta, Muhajir berpendapat bahwa secara garis besar terbagi atas dua subdialek, yakni dalam kota dan pinggiran di seputar kota.

Sementara Abdul Chaer membedakannya atas empat wilayah geografis. Yang di dalam kota atau yang lazim disebut “Betawi Tengah” atau “Betawi Kota” berada di tiga wilayah yakni (1) Mester Jatinegara, Kampung Melayu, dan sekitarnya, (2) Tanah Abang (Tanah Abang, Petamburan, dan sekitarnya), (3) Karet (Karet, Senayan, Kuningan, Menteng, dan sekitarnya. 

Subdialek di daerah pinggiran “Betawi Pinggiran” atau “Betawi Ora”; (4) Kebayoran (Kebayoran, Pasar Rebo, Bekasi dan daerah sekitarnya). Muhajir menambahkan Pulo Gadung dan Cengkareng sebagai wilayah Betawi Pinggiran.

Berkaitan dengan perkembangan dialek Jakarta, Bambang Kaswanti Puro mencatat bahwa ketika memasuki abad ke-20, sebagaimana dikemukakan oleh Muhajir, dialek Jakarta berkembang menjadi dua dialek sosial. Yang satu dituturkan oleh penduduk asli Jakarta yang lebih tua dan yang kedua yang dikembangkan oleh generasi muda yang kelahiran Jakarta.

Yang satu itu oleh Wallace disebut berpola tradisional dan konservatif dan yang kedua merupakan media kreatif dan inovatif yang mulai menyimpang dari pola tradisional.

Yang kedua ini, yang semula merupakan bahasa kaum muda Jakarta, dalam perkembangannya menjadi dasar bagi perkembangan ragam bahasa Indonesia lisan yang informal. Ragam ini meluas diikuti oleh kaum muda di luar wilayah Jakarta dan menyebar juga pemakaiannya di kalangan yang lebih tua.

Bambang juga mencatat bahwa dialek Jakarta tidak lagi semata-mata digunakan dalam media lisan, tapi mulai merasuki dunia tulis. “Yang paling menarik adalah karya Firman Muntaco (1935-1993), yang merupakan koleksi ceritanya yang seluruhnya ditulis dengan dialek Jakarta,” katanya.
    Kisah sedih 
Berkaitan dengan empat subdialek yang digambarkan Abdul Chaer, Bambang menyayangkan bahwa kini tidak mungkin lagi subdialek-subdialek itu diteliti dan didokumentasikan karena wilayahnya menjadi porak poranda oleh perkembangan yang bernama “modernisasi”.

Dalam waktu yang cepat batas-batas antarwilayah itu menjadi makin tidak jelas karena makin meningkatnya urbanisasi dan penduduk asli makin terdesak untuk pindah ke pinggiran Jakarta.

Pada pertengahan abad ke-20 berbagai proyek pembangunan, seperti perumahan di Kebayoran Baru, Grogol, stadion olah raga Senayan, daerah industri Pulo Gadung, telah menggusur dan mencerai-beraikan permukiman yang semula merupakan kampung-kampoung tempat tinggal warga Betawi.

“Ini akibat samping dari langkah positif yang namanya pembangunan, tapi yang merupakan kisah sedih bagi penduduk asli Jakarta yang harus membayar mahal… Ini kisah sedih juga bagi para peneliti dan pecinta bahasa dan budaya,” kata Bambang.

Telah terbitnya enam karya besar tentang dialek Jakarta, merupakan suatu keberuntungan karena para pecinta bahasa dan budaya, khususnya masyarakat Betawi, melalui karya-karya tersebut dapat menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, termasuk bahasa, yang merupakan fondasi dari jati diri masyarakat Betawi.

Apalagi ternyata kini dialek Jakarta, banyak digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah lain di Indonesia, selain Jakarta, dalam berkomunikasi.
Jadi, meski ada kesedihan karena sejumlah subdialek Jakarta “hilang” karena pembangunan, namun melihat perkembangan komunikasi informal saat ini seharusnya ada rasa bangga karena dialek Jakarta sudah menasional.

Dialek Jakarta, kata orang muda Betawi, “nggak ade matinye”.  (*)

Rabu, 09 Januari 2013

"MASUP KANDANG..." PAKE BAJU BETAWI

"Masup kandang kambing, ngembek, masup kandang kerbau, ngelenguh", begitulah peribahasa Betawi yang bermakna perlunya seseorang itu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada di sekitar mereka. 

Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo atau Jokowi, tampaknya memahami masalah itu. Karena itu ia mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 209 Tahun 2012,  agar seluruh pegawai negeri sipil (PNS) Provinsi DKI Jakarta menggunakan pakaian tradisional Betawi pada setiap Rabu mulai 2 Januari 2013. 

Tujuan Pemerintah DKI Jakarta  menerapkan peraturan sersebut, kata Jokowi, dalam rangka melestarikan kebudayaan Betawi di tempat aslinya, Jakarta.  Pakaian itu memang merupakan identitas masyarakat Betawi.

Maka, jadilah. Pada hari pertama kerja setelah libur panjang Tahun Baru, sebagian besar karyawan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memulai kerja mereka dengan mengenakan busana tradisional Betawi. Karyawan mengenakan baju Sadariyah -- semacam baju koko -- lengkap dengan peci dan kain sarung yang tersampir di leher. Sedang karyawati, meski merasa "ribed", mereka tetap mengenakan Kebaya Encim dan sarung bermotif batik.

Sebenarnya jika kita berbicara tentang identitas Betawi, khususnya masalah kebudayaannya, masih banyak yang bisa ditunjukkan seperti masalah kesenian musik, lagu dan tariannya. Serta tentang bermacam-macam makan atau minuman, permainan tradisional dan adat istiadat. Selain itu, tahap-tahap kehidupan seperti masa bayi dalam kandungan sampai lahir, sunatan, perkawinan dan sebagainya.

Namun upaya pertama kali ini perlu disambut baik, khususnya oleh orang Betawi. Apalagi, Jokowi juga berencana mengeluarkan aturan tentang perlunya gedung-gedung di Jakarta dilengkapi dengan ornamen bangunan Betawi, yang memang sekarang ini makin jarang terlihat.

Sementara itu, jika kita membicarakan pakaian khas Betawi, laki-laki Betawi zaman dulu, sering mengenakan baju Sadariyah, sandal jepit dari kulit, celana batik komprang dan menyampirkan sarung di pundaknya lengkap dengan kopiah hitam di kepala. Sedangkan perempuan Betawi, tampil dengan anggun mengenakan kebaya encim, sarung batik, selendang polos, selop beludru dan konde cepol. 


Hanya sayang, kata sebuah artikel, sampai sekarang memang belum ada tulisan atau dokumen yang menjelaskan secara pasti mengenai sejarah atau legenda busana Betawi. Namun gambaran seperti itu dapat diperoleh dari cerita orang tua tempo dulu, kira-kira satu atau dua generasi sekarang.


Jika kita mengamati busana Betawi, sebenarnya busana ini mempunyai beragam model. Di setiap wilayah kota Jakarta, banyak ditemukan berbagai ragam model busana Betawi. Makanya tak heran jika kemudian terlihat perbedaan busana yang satu dengan wilayah lainnya khususnya busana Betawi pinggiran dengan busana Betawi di tengah kota.


Ragam buasana Betawi yang sempat hilang dalam percaturan sejarah Jakarta, kata artikel itu, kini mulai muncul kembali. Minimal, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, kita bisa menyimak perkembangan busana Betawi dari berbagai literatur dan studi. Busana Betawi pada sekitar tahun 1975 mengalami apa yang disebut sebagai titik balik kemunculan Betawi. 

Pada tahun itu dimulai berbagai studi tentang Betawi dan pada tahun itu juga muncul gerakan pelestarian dan pengembangan budaya Betawi. Kendati terjadi persentuhan dan pembauran budaya dengan berbagai bangsa, ciri khas budaya Betawi ternyata tetap terpelihara.


Itu terlihat jelas pada busana tradisionalnya. Untuk pakaian resmi adat Betawi, salah satunya menunjukkan perpaduan antara budaya Arab, Cina dan Eropa. Misalnya terlihat pada busana pengantin Betawi. Nuansa Arab dan Cina amat kental. Sedangkan kata kebaya itu sendiri diambil dari kata “abaya“, yakni pakaian dari Arab yang biasanya digunakan sebagai baju luar berwarna hitam.

Demikian pula dengan baju kerancang, baju kerancang itu dulunya bernama baju encim. Baju ini harganya mahal dan dipakai oleh orang Cina kaya yang biasanya dipanggil encim. Sekarang dikenal sebagai kebaya encim. Meski populer dengan sebutan kebaya encim, ada juga yang menyebutnya sebagai kebaya kerancang yang memiliki bordiran bolong-bolong pada pinggiran kebaya.


Sepertinya di Jakarta mulai Januari 2013 ini "sang kambing mulai ngembek dan sang kerbau mulai ngelenguh". Namun, masih terbatas di "kandang" Pegawai Negeri Sipil (PNS).  Nggak apa-apa, yang penting sudah dimulai. (*)

Senin, 07 Januari 2013

KOMUNITAS BETAWI DAN PELESTARIAN BUDAYA


Menyadari bahwa kota Jakarta yang terus berkembang menjadi metropolitan, bahkan megapolitan, muncul pemikiran perlunya dibentuk teritori kultural Betawi agar nilai-nilai dan perilaku budaya penduduk asli Jakarta itu dapat dihayati dalam bermasyarakat.

Pelestarian komunitas Betawi itu harus menjadi agenda penting dalam pembangunan di ibu kota Jakarta, guna membantu orang Betawi memelihara eksistensi budaya mereka. 

“Ada baiknya perencanaan pembangunan daerah memikirkan pelestarian komunitas Betawi, karena tanpa komunitas tak mungkin kebudayaan dapat dilestarikan,” kata budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam sebuah bukunya.

Jika memang demikian, maka upaya untuk melestarikan budaya Betawi akan makin membutuhkan komitmen dan kerja keras para pemangku kepentingan atau “stakeholders”. Strategi dan perencanaan pun harus disusun dengan baik.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bukannya tidak pernah merencanakan untuk menciptakan komunitas itu. DKI Jakarta pernah menetapkan daerah Condet di Jakarta Timur menjadi cagar budaya Betawi, namun gagal.

Kini DKI Jakarta menetapkan Serengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan menggantikan Condet sebagai perkampungan budaya Betawi. Masih ada harapan agar daerah seluas 289 hektare itu menjadi teritori fisik budaya Betawi di tengah kekhawatiran kegagalan dalam memberikan ruang bagi pengembangan budaya Betawi.

Pemikiran mengenai perlunya ada wilayah budaya Betawi dalam melestarikan budaya Betawi ini muncul karena pada kenyataannya, pembangunan di DKI Jakarta dinilai telah “menggusur” masyarakat asli Betawi dari wilayah mereka.

Dengan alasan “demi pembangunan”, orang Betawi kini banyak tersebar di pinggiran Jakarta, bahkan hingga ke Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi, wilayah-wilayah yang “mengepung” Jakarta.

Wilayah Karet, Kuningan, Senayan, dan Kebayoran Baru, adalah beberapa wilayah di Jakarta yang merupakan teritori kebudayaan dan masyarakat Betawi yang kini telah hilang. Banyak yang lenyap menyusul hilangnya teritori itu. Salah satunya sub-dialek Jakarta yang hidup di daerah-daerah itu, yang ternyata belum sempat diteliti dan dicatat oleh ahli bahasa.

Dengan terpinggirkannya orang Betawi dari Jakarta, yang “notabene” adalah wilayah mereka sendiri, maka pendukung kebudayaan Betawi di Ibukota itu kian hari kian menipis. Tidak hanya dalam mendukung nilai-nilai dan perilaku Betawi, tapi juga dalam mendukung seni budaya Betawi.

Meski, menurut Ridwan Saidi, seni budaya Betawi dapat dimainkan oleh siapa pun dan di mana pun, namun tuntutan kalangan masyarakat agar Pemprov DKI Jakarta menyediakan semacam “pusat kebudayaan” Betawi tampaknya perlu dipertimbangkan.

Sejumlah pelaku budaya Betawi yang giat dalam seni budaya lenong dan topeng Betawi, beberapa waktu lalu sempat menyampaikan “unek-unek”-nya tentang perlunya Jakarta membangun Gedung Kesenian Betawi.

Alasannya agar mereka mempunyai tempat untuk menunjukkan seni budaya Betawi yang merupakan embrio kesenian Jakarta, sementara pemangku kepentingan budaya Betawi lainnya tahu harus kemana jika ingin mengetahui dan menikmati seni budaya Betawi tersebut.

Dengan adanya gedung kesenian itu diharapkan perkembangan seni budaya Betawi tidak “mandeg” atau berhenti karena komunikasi antara seniman dan penikmat seni berjalan lancar.

Sementara bagi penggiat pariwisata di ibukota pun bakal memiliki objek pariwisata budaya yang dapat dipertunjukkan kepada wisatawan, baik dari domestik maupun luar negeri.

Dalam seni musik Betawi seperti gambang kromong, misalnya. Setelah Benyamin Sueb meninggal dunia pada 5 September 1995, Betawi, juga Jakarta, sebenarnya telah kehilangan ikon musisi berbakat yang serba bisa.


Yang menyedihkan adalah hingga saat ini, setelah satu dasawarsa lebih, tidak ada yang bisa menggantikan peran Bang Ben sebagai ikon di tengah makin majunya industri musik di Indonesia.


Upaya untuk menciptakan “Bang Ben-Bang Ben” baru pun tidak terlihat. Belum pernah terdengar, misalnya, adanya pelaksanaan festival musik gambang kromong.

Sepertinya, Pemprov DKI Jakarta juga harus fokus memikirkan pengembangan dan pelestarian seni budaya Betawi, selain mencoba membangun komunitas Betawi.


Barangkali dengan makin maraknya pertunjukkan seni budaya di era globalisasi saat ini, seni budaya Betawi juga dapat menunjukkan eksistensinya. 

Jika demikian, paling tidak pembangunan komunitas Betawi dan seni budayanya bakal saling mendukung. Dengan demikian, komunitas Betawi tetap eksis.(*)