Penduduk
Betawi sejak awal sudah sangat heterogen atau beragam. Kesenian Betawi, seperti
kesenian musiknya, lahir dari perpaduan berbagai unsur etnis dan suku bangsa
yang ada di Betawi.
Nama Gambang Kromong diambil dari nama alat musik yaitu gambang dan kromong. Ia juga merupakan paduan yang serasi antara unsur pribumi dan China. Unsur China tampak pada instrumen seperti tehyan, kongahyan, dan sukong. Sementara unsur pribumi berupa kehadiran instrument seperti gendang, kempul, gong, gong enam, kecrek dan ningnong.
Gambang rancag bisa disebut sebagai pertunjukkan musik sekaligus teater, bahkan sastra. Ia tediri dari dua unsur yaitu gambang dan rancag.
Gamelan Ajeng merupakan merupakan folklorik Betawi yang mendapat pengaruh dari musik Sunda. Beberapa daerah di pasundan terdapat pula gamelan ajeng. Meski begitu perkembangan kemudian membedakan gamelan ajeng di Betawi dan gamelan serupa di Pasundan.
Gamelan Topeng adalah seperangkat gamelan untuk mengiringi topeng Betawi, sebagaimana Gambang Kromong untuk mengiringi pertunjukan lenong.
Musik Tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke-14 hingga 16. Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik untuk tuannya. Sejarawan Belanda Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kolonial.
Samrah telah berkembang di Jakarta sejak abad ke-17. Asalnya dari Melayu. Itu dimungkinkan karena salah satu suku yang menjadi cikal bakal orang Betawi adalah Melayu. Samrah berasal dari kata bahasa Arab, Samarokh, yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Oleh orang Betawi diucapkan menjadi samrah atau sambrah.
Sebagai orkes tanpa laras, sampyong merupakan musik rakyat Betawi pinggiran yang paling sederhana dibandingkan dengan musik Betawi lainnya. Nama musik ini berasal dari nama salah satu alat musik yaitu sampyong, semacam kordofan bambu berdawai dua ruas.
Seni musik
Betawi tidak terhindar dari proses perpaduan itu. Dalam musik Betawi terdapat
pengaruh Eropa, China, Arab, Melayu, Sunda dan lain-lain.
Dalam buku
Profil Seni Budaya Betawi disebutkan bahwa yang masuk ke dalam kelompok seni
musik Betawi adalah Gambang Kromong, Gambang Rancag, Gamelan Ajeng, Gamelan
Topeng, Keroncong Tugu, Tanjidor, Orkes
Samrah, Orkes Gambus, Sampyong dan Marawis.
Selain itu,
Rebana, yang berdasarkan jenis alat, sumber syair, wilayah penyebaran dan latar
belakang sosial pendukungnya, terdiri atas Rebana Biang, Rebana Ketimpring, Rebana
Ngarak, Rebana Maulid, Rebana Hadroh, Rebana Dor, Rebana Kasidah, Rebana
Maukhid, dan Rebana Burdah.
Gambang Kromong
Nama Gambang Kromong diambil dari nama alat musik yaitu gambang dan kromong. Ia juga merupakan paduan yang serasi antara unsur pribumi dan China. Unsur China tampak pada instrumen seperti tehyan, kongahyan, dan sukong. Sementara unsur pribumi berupa kehadiran instrument seperti gendang, kempul, gong, gong enam, kecrek dan ningnong.
Memang, pada
mulanya Gambang Kromong adalah ekspresi kesenian masyarakat China peranakan
saja. Sampai awal abad ke-19 lagu-lagunya masih dinyanyikan dalam bahasa China.
Baru pada dasawarsa pertama abad ke-20 repertoar lagu gambang kromong
diciptakan dalam bahasa Betawi.
Gambang Kromong
sangat terbuka menerima kemungkinan pengembangan. Itulah sebabnya dikenal
gambang kromong kombinasi yang disebut juga gambang kromong modern. Dikatakan
kombinasi karena susunan alat musik asli ditambah atau dikombinasikan dengan
alat musik Barat seperti gitar, gitar melodi, bass, organ, saksofon, dan drum.
Gambang
kromong kombinasi dapat memenuhi semua keinginan penonton. Dapat dibawakan
jenis lagu dangdut, keroncong, pop, bahkan gambus. Seniman musik pop pun bisa
mempopulerkan lagu-lagu gambang kromong seperti Benyamin S, Ida Royani, Lilis
Suryani dan Herlina Effendi.
Gambang Rancag
Gambang rancag bisa disebut sebagai pertunjukkan musik sekaligus teater, bahkan sastra. Ia tediri dari dua unsur yaitu gambang dan rancag.
Gambang
berarti musik pengiringnya dan Rancag adalah cerita yang dibawakannya dalam
bentuk pantun berkait. Umumnya
membawakan lakon-lakon jagoan seperti Si Pitung, Si Jampang, dan Si Angkri.
Pantun berkait ini dinyanyikan oleh dua
orang secara bergantian. Sama dengan berbalas panting.
Pergelaran
gambang rancang selalu terbagi atas tiga bagian. Bagian pembukaan yang diisi
dengan lagu-lagu phobin yang
berfungsi mengumpulkan penonton. Bagian kedua diisi dengan menampilkan
lagu-lagu hiburan atau “lagu sayur”. Bagian ini berfungsi sebagai selingan
sebelum ngeerancag dimulai. Kedua jenis lagu ini sama dengan yang dinyanyikan
dalam gambang kromong.
Bagian
ketiga rancag. Lagu-lagu yang dibawakan dalam merancag adalah Dendang Surabaya, Gelatik Nguknguk, Persi,
Phobin Jago, Phobin Tintin dan Phobin
Tukang Sado.
Gamelan Ajeng merupakan merupakan folklorik Betawi yang mendapat pengaruh dari musik Sunda. Beberapa daerah di pasundan terdapat pula gamelan ajeng. Meski begitu perkembangan kemudian membedakan gamelan ajeng di Betawi dan gamelan serupa di Pasundan.
Alat musik
gamelan ajeng terdiri dari kromong sepuluh pencin, terompet, gendang (dua
gendang besar dan dua kulanter), dua saron, bende, cemes (semacam cecempres),
dan kecrek. Kadang-kadang ada juga yang menggunakan dua gong: gong laki dan
gong perempuan.
Gamelan
Ajeng biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan, seperi khitanan atau
perkawinan. Pada mulanya tidak biasa digunakan sebagai pengiring tarian. Tapi
pada perkembangannya kemudian digunakan sebagai pengiring tarian yang disebut “Belenggo
Ajeng”.
Gamelan Topeng
Gamelan Topeng adalah seperangkat gamelan untuk mengiringi topeng Betawi, sebagaimana Gambang Kromong untuk mengiringi pertunjukan lenong.
Gamelan Topeng merupakan
penyederhanaan dari gamelan lengkap. Terdiri dari
rebab, sepasang gendang )gendang besar dan kulanter), ancang kenong berpencong
tiga, kecrek, kempul yang digantung dan sebuah gong tahang atau gong angkong.
Lantaran
penyederhanaan ini Gamelan Topen bisa dibawa berkeliling untuk “ngamen” dari
kampung ke kampung, terutama pada saat perayaan tahun baru, baik masehi maupun
Imlek, sebagaimana dilakukan rombongan Haji Bokir pada era 1950-an.
Keroncong Tugu
Keroncong Tugu dahulu sering disebut Cafrinho Tugu. Orang-orang keturunan Portugis (mestizo) telah memainkan musik ini sejak 1661. Pengaruh Portugis dapat diketahui dari jenis irama lagunya, seperti moresko, frounga, kafrinyo, dan nina bobo.
Keroncong Tugu dahulu sering disebut Cafrinho Tugu. Orang-orang keturunan Portugis (mestizo) telah memainkan musik ini sejak 1661. Pengaruh Portugis dapat diketahui dari jenis irama lagunya, seperti moresko, frounga, kafrinyo, dan nina bobo.
Keroncong
Tugu tidak jauh beda dengan keroncong pada umumnya. Tapi juga bukan sama
persis. Keroncong Tugu berirama lebih cepat. Irama yang lebih cepat ini
disebabkan oleh suara ukulele yang dimainkan dengan cara menggaruk seluruh
senarnya. Sementara keroncong Solo atau Yogya berirama lebih lambat
Keroncong
Tugu pada mulanya dimainkan oleh tiga atay empat orang. Alat musiknya hanya
tiga buah gitar yaitu gitar Frounga yang berukuran besar dengan empat dawai,
gita Monica yang berukuran sedang dengan 3-4 dawai, dan gitar Jitera yang
berukuran kecil dengan lima dawai. Selanjutnya alat musik Keroncong Tugu
ditambah dengan suling, biola, rebana, mandolin, cello, kempul dan triangle.
Dulu
keroncong ini sering membawakan lagu berirama melan€kolis, diperluas dengan
irama pantun, irama stambul, irama melayu, langgam keroncong, dan langgam jawa.
Syair lagu-lagunya kebanyakan masih menggunakan bahasa Portugis, yang cara
pengucapannya sudah terpengaruh dialek Betawi Kampung Tugu.
Di atas
pentas para pemainnya selalau berpenampilan khas. Yang laki-laki mengenakan
baju koko putih, celana batik, dan tutup kepala cemacam baret. Mereka juga
selalu memakai semacam syal yang melingkari leher.
Tanjidor
Musik Tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke-14 hingga 16. Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik untuk tuannya. Sejarawan Belanda Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kolonial.
Alat musik
yang mereka gunakan antara lain klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet,
bas drum, tambur, dan simbal. Ketika
perbudakan dihapuskan pada 1860, pemain musik itu membentuk perkumpulan musik.
Lahirlah perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor.
Lagu-lagu
yang dibawakan tanjidor antara lain battalion, kramton, bananas, delsi, was tak tak, welmes, dan
cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi.
Lagu-lagu tanjidor juga diperkaya dengan lagu-lagu gambang kromong. Karena itu
instrumennya bisa ditambah dengan tehyan, rebana, beduk, kendang, kecrek,
kempul dan gong.
Orkes Samrah
Samrah telah berkembang di Jakarta sejak abad ke-17. Asalnya dari Melayu. Itu dimungkinkan karena salah satu suku yang menjadi cikal bakal orang Betawi adalah Melayu. Samrah berasal dari kata bahasa Arab, Samarokh, yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Oleh orang Betawi diucapkan menjadi samrah atau sambrah.
Orkes Samrah
adalah ansambel musik Betawi. Instrumen musiknya antara lain harmonium, biola,
gitar, string bas, tamborin, marakas, banyo dan bas betot. Harmonium, yang kini
sudah langka, dominan dalam lagu yang disajikan. Karena itu, orkes samrah disebut juga sebagai
orkes harmonium.
Kostum yang
dipakai pemain samrah ada dua macam yakni peci, jas dan kain pelekat atau baju
sadariah dan celana batik. Sekarang ditambah lagi satu model yang sebenarnya
model lama, “jung serong” (ujungnya serong), yang terdiri dari tutup kepala
yang disebut liskol, jas kerah tutup dengan panetolan satu warna dan sepotong
kain batik yang dililitkan di abwah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyembul
ke bawah.
Orkes Gambus

Orkes Gambus yang dahulu dikenal dengan sebutan irama Padang Pasir, diperkirakan sudah ada di Betawi sejak awal abad ke-19.

Orkes Gambus yang dahulu dikenal dengan sebutan irama Padang Pasir, diperkirakan sudah ada di Betawi sejak awal abad ke-19.
Saat itu banyak
imigran dari Hadramaut (Yaman Selatan) dan Gujarat datang ke Betawi. Jika walisongo
menggunakan gamelan sebagai sarana dakwah, imigran Hadramaut menggunakan gambus.
Peralatan musik
gambus bervariasi, tapi yang baku umumnya terdiri dari gambus, biola, dumbuk,
suling, organ atau akordion, dan marawis.
Sampyong
Sebagai orkes tanpa laras, sampyong merupakan musik rakyat Betawi pinggiran yang paling sederhana dibandingkan dengan musik Betawi lainnya. Nama musik ini berasal dari nama salah satu alat musik yaitu sampyong, semacam kordofan bambu berdawai dua ruas.
Alat musik
lainnya adalah sejenis gambang empat bilah terbuat dari bambu kayu dengan
ancaknya (talam dibuat dari anyaman bambu, lidi atau lidi nyiur) terbuat dari
gedebog pisang. Ada pula yang menambahnyadengan dua buah tanduk kerbau yang
dibunyikan dengan cara diaduk-adukan.
Orkes ini
biasa dipergunakan untuk mengiringi pertandingan ujangan, yaitu dua orang
bertanding saling memukul dengan rotan sebesar ibu jari kaki yang didahului
dengan tarian uncul.
Marawis
Nama marawis
diambil dari nama alat musik yang dipergunakan kesenian ini. Alat musik tersebut
ada tiga jenis yakni pertama, perkusi rebana/kendang ukuran kecil yang garis
tengahnya 10 cm, tinggi 17 cm, dan kedua kendangnya tertutup. Inilah yang
disebut marawis (paling sedikit dipergunakan empat buah).
Kedua, perkusi
besar (tinggi 50 cm, garis tengah 10 cm yang disebut hadir dengan kedua kendangnya tertutup. Ketiga, papan tepok.
Rebana
terbilang kesenian yang cukup popular di Jakarta. Di daerah lain terutama di
Jawa, alat musik bermembran ini disebut terbang.
Sebutan rebana diduga berasal dari kata arab robbana (Tuhan kami). Sebutan ini muncul karena alat musik ini biasa
digunakan untuk mengiringi lagu-lagu bernafaskan Islam.
Berdasarkan
jenis alat, sumber syair, wilayah penyebaran dan latar belakang sosial
pendukungnya, rebana Betawi terdiri atas Rebana Biang, Rebana Ketimpring, Rebana
Ngarak, Rebana Maulid, Rebana Hadroh, Rebana Dor, Rebana Kasidah, Rebana
Maukhid, dan Rebana Burdah. (Profil Seni Budaya Betawi/ab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar