Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Sabtu, 09 Mei 2015

JAJANG, PILOT PESAWAT TEMPUR BERDARAH BETAWI




(Dok pribadi/Majalahbetawi.com)
Betawi punya seorang pilot pesawat tempur. Namanya Letnan Kolonel Penerbang Jajang Setiawan, anak dari H. Salam Rusyen yang kelahiran Menceng, Cengkareng dan ibu Hj. Tjitjih Sukaesih yang kelahiran Banten).

Jajang mulai 10 Oktober 2014 menjabat sebagai Komandan Skuadron Udara 12 Pekanbaru. Sebelum menjadi Danskadron Udara 12, ia menjabat Kafaslat Lanud Roesmin Nurjadin. Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-40 pada 17 Maret 2015, ia meraih 2.000 jam terbang dengan pesawat tempur Hawk. Prestasi langka di Skuadron Udara 12 Pekanbaru.

Kisah sukses Jajang menjadi penerbang tempur, menurut majalahbetawi.com, berawal dari cita-citanya yang kuat sejak duduk di bangku SMU 8 PGRI, Greenville, Jakarta Barat tahun 1990-1993. Laki-laki kelahiran Grogol, Jakarta Barat, 17 Maret 1975 itu bercita-cita menjadi penerbang tempur, sehabis nonton film Perwira Ksatria di Bioskop 21 Grogol.

Ketika SD sampai SMU kelas 1 tak ada perestasi istimewa yang dia peroleh. “Belajar biasa saja, malah males pegang buku,” kata pria yang mengaku pernah belajar seni pukul Betawi ke Kong Amat di Menceng, Cengkareng, Jakarta Barat.

Titik awal kebangkitannya adalah ketika duduk di bangku SMU kelas 2. “Ane pengen bahagiakan orang tua, kasih bangga ke mereka, kalau anaknya bisa berprestasi di sekolah,” kata Jajang anak kedua dari empat bersaudara ini.

Setelah lulus SMU pada 1993, ia mendaftar untuk menjadi Taruna TNI AU, namun ia gagal dalam sesi tes penerimaan Taruna. “Ketika gagal itu, ane kerja apa saja, jadi sopir gas. Orang tua ampe sedih, dia enggak bolehin ane nonton segala yang ada hubungannya dengan tentara,” kata Jajang. 

Meski kurang didukung keluarga karena mereka berpikir masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI itu hanya untuk anak pejabat, Jajang yang hanya anak pensiunan “tukang blanwir” (petugas pemadam kebakaran) golongan II A, sambil bekerja menjadi sopir terus latihan guna mengikuti tes taruna pada 1994.

Di kesempatan kedua ini ia diterima menjadi Taruna  AKABRI Udara di Magelang. Ia lulus seleksi Jakarta peringkat 5 dan AKABRI Udara urutan 19. “Ane haru, anak ‘tukang  blanwir’ bisa lolos AKABRI, yang lain babenya kebanyakan hebat-hebat,” katanya.

Pendidikan di AKABRI dilalui Jajang dengan cukup berat. “Tapi diajak ejoy. Semua demi suatu tujuan untuk menjadi pemimpin  di sektor nya masing-masing  sesuai kejuruan.  Sampe akhirnye ane lulus jadi perwira. Dan angkatan ane adalah angkatan yang terakhir dilantik oleh pak Harto (Presiden Soeharto) sebelum beliau lengser,” katanya.  
Kelar lulus Taruna dengan pangkat Letda Teknik Pesawat Terbang, Jajang  pulang ke Jakarta naik kereta api dan turun di Gambir. “Naek taksi.  Sampe di Grogol, pada kaget tuh tetangga. Eh... siapa tuh pake pakean polisi? Cokelat-cokelat.  Ane cuma senyum ke mereka. Aye Jajang  mpok, bang,” ungkap Jajang. Lalu,”Lah busyet dah lu. Eluu jaaaang… masuk  polisi lu? Bukan bang. ane masuk. AKABRI . Setelah itu mereka  manggil ane pak letnan, calon komandan,” kata Jajang.

Jadi penerbang

Jajang kemudian dianjurkan oleh komandannya untuk sekolah menjadi penerbang. Karena termotivasi, ia semangat untuk jadi penerbang.  Berbarengan dengan persiapan tes sekolah penerbang, Jajang menyusun skripsi. “Alhamdulillah skripsi ane terbaik ke-2 di kelas AE (Aeronautika),dapet nilai A-,” kata Jajang. 

Ia ngotot ingin bisa lolos seleksi. “Ahamdulillah ane lulus saat test masuk sekbang. Dari  139 orang pendaftar, yang lulus tes 50 orang. Kemudian lanjut tes bakat terbang, ane yang terbaik. Dalam tes bakat terbang, ahamdulillah ane ujian akhir terbang, diuji sama Danlanud Adi Sutjipto. Dan ane lulus bro, dari 50 orang tersisa 35 orang masuk sekbang (sekolah penerbang),” kata Jajang.

Setelah  lulus pada fase awal nilai terbang terbaik, ia lanjut ke fase latih dasar. Latih mula ane terbang pake AS 202 Bravo buatan Switzerland. Dan latih dasar dengan pesawat T-34 Charlie buatan USA. Dengan Charlie, Alhamdulillah nilai ane juga masih nomer satu,” kata Jajang yang lulus Sekbang 1999,  tergabung dalam angkatan Sekbang LVII. 

Lantaran hasil ini, teman-teman dan instruktur Jajang menganjurkannya untuk jadi penerbang tempur. Ia melanjutkan pendidikan di sekolah instruktur di Australia FIC (Flying Instructor Course), setelah itu ke Sekkau Angkatan LXXXI dan lulus tahun 2007 dan Sesko (ACSC) di Australia tahun 2012. Ia akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan menjadi penerbang tempur pesawat Hawk dengan baik.

Lika-liku karir sebagai penerbang tempur dilalui, sampai satu ketika ada peristiwa yang tak akan bisa dilupakan Jajang.  Ketika itu, Jajang sedang  melakukan  latihan rutin bersama tiga pesawat tempur lainnya.  Malang tak dapat ditolak, sistem hidrolik pesawat tempur Hawk  itu mengalami masalah, roda tak bisa keluar. Saat itu bahan bakar ada 2.100 liter.

Lalu ia  terbang selama dua jam di udara agar bahan bakar berkurang. “ Sambil terbang ngabisin fuel , kurang lebih 2 jam,  ane terbang tepat di atas rumah ane di komplek AURI.  Ane lihat rumah, terbayang istri dan anak-anak ane.  Yang paling kecil anak ane juga masih 17 hari, bini juga masih dibebet kain jarik.  Berpikir.  Apa bisa ketemu anak dan bini ane,” cerita Jajang.

Lantaran  pendidikan yang diterimanya mengajarkan pendaratan darurat, ia ikuti  prosedurnya. “Bisa saja pesawat jatuh dan ane pakai kursi lontar. Tapi ane ikuti prosedur untuk turun dengan teknik yang lembut, ketika itu bahan bakar tersisa 150 liter. Alhamdulillah pesawat bisa selamat turun, walau kecepatnnya 280 km/Jam. Ada gesekan ke aspal di Bandara Syarif Kasim, Pekanbaru dan sempat mengeluarkan api  di belakang pesawat, karena gesekan badan pesawat dengan landasan aspal,” kata Jajang.  

Mimpi seorang Jajang yang berdarah Betawi telah tercapai. Saat ini ia menjadi salah satu pilar penjaga kedaulatan udara Indonesia.  Ini bukti kontribusi kecil anak Betawi untuk Indonesia. (ab)