![]() |
(Dok pribadi/Majalahbetawi.com) |
Betawi punya seorang pilot pesawat tempur. Namanya Letnan
Kolonel Penerbang Jajang Setiawan, anak
dari H. Salam Rusyen yang kelahiran Menceng, Cengkareng dan ibu Hj. Tjitjih
Sukaesih yang kelahiran Banten).
Jajang
mulai 10 Oktober 2014 menjabat sebagai Komandan Skuadron Udara 12 Pekanbaru. Sebelum
menjadi Danskadron Udara 12, ia menjabat Kafaslat Lanud Roesmin Nurjadin. Tepat
pada hari ulang tahunnya yang ke-40 pada 17 Maret 2015, ia meraih 2.000 jam
terbang dengan pesawat tempur Hawk. Prestasi langka di Skuadron Udara 12
Pekanbaru.
Kisah sukses Jajang menjadi
penerbang tempur, menurut majalahbetawi.com, berawal dari cita-citanya yang
kuat sejak duduk di bangku SMU 8 PGRI, Greenville, Jakarta Barat tahun 1990-1993.
Laki-laki kelahiran Grogol, Jakarta Barat, 17 Maret 1975 itu bercita-cita
menjadi penerbang tempur, sehabis nonton film Perwira Ksatria di Bioskop 21
Grogol.
Ketika SD sampai SMU kelas 1 tak ada
perestasi istimewa yang dia peroleh. “Belajar biasa saja, malah males pegang
buku,” kata pria yang mengaku pernah belajar seni pukul Betawi ke Kong Amat di
Menceng, Cengkareng, Jakarta Barat.
Titik awal kebangkitannya adalah
ketika duduk di bangku SMU kelas 2. “Ane pengen bahagiakan orang tua, kasih
bangga ke mereka, kalau anaknya bisa berprestasi di sekolah,” kata Jajang anak
kedua dari empat bersaudara ini.
Setelah lulus SMU pada 1993, ia
mendaftar untuk menjadi Taruna TNI AU, namun ia gagal dalam sesi tes penerimaan
Taruna. “Ketika gagal itu, ane kerja apa saja, jadi sopir gas. Orang tua ampe
sedih, dia enggak bolehin ane nonton segala yang ada hubungannya dengan
tentara,” kata Jajang.
Meski kurang didukung keluarga
karena mereka berpikir masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(AKABRI itu hanya untuk anak pejabat, Jajang yang hanya anak pensiunan “tukang
blanwir” (petugas pemadam kebakaran) golongan II A, sambil bekerja menjadi
sopir terus latihan guna mengikuti tes taruna pada 1994.
Di kesempatan kedua ini ia diterima
menjadi Taruna AKABRI Udara di Magelang.
Ia lulus seleksi Jakarta peringkat 5 dan AKABRI Udara urutan 19. “Ane haru,
anak ‘tukang blanwir’ bisa lolos AKABRI,
yang lain babenya kebanyakan hebat-hebat,” katanya.
Pendidikan di AKABRI dilalui Jajang
dengan cukup berat. “Tapi diajak ejoy. Semua demi suatu tujuan untuk menjadi
pemimpin di sektor nya
masing-masing sesuai kejuruan. Sampe akhirnye ane lulus jadi perwira. Dan
angkatan ane adalah angkatan yang terakhir dilantik oleh pak Harto (Presiden
Soeharto) sebelum beliau lengser,” katanya.
Kelar lulus Taruna dengan pangkat Letda
Teknik Pesawat Terbang, Jajang pulang ke
Jakarta naik kereta api dan turun di Gambir. “Naek taksi. Sampe di Grogol, pada kaget tuh tetangga.
Eh... siapa tuh pake pakean polisi? Cokelat-cokelat. Ane cuma senyum ke mereka. Aye Jajang mpok, bang,” ungkap Jajang. Lalu,”Lah busyet
dah lu. Eluu jaaaang… masuk polisi lu?
Bukan bang. ane masuk. AKABRI . Setelah itu mereka manggil ane pak letnan, calon komandan,” kata
Jajang.
Jadi penerbang
Jajang kemudian dianjurkan oleh
komandannya untuk sekolah menjadi penerbang. Karena termotivasi, ia semangat
untuk jadi penerbang. Berbarengan dengan
persiapan tes sekolah penerbang, Jajang menyusun skripsi. “Alhamdulillah
skripsi ane terbaik ke-2 di kelas AE (Aeronautika),dapet nilai A-,” kata Jajang.
Ia ngotot ingin bisa lolos seleksi.
“Ahamdulillah ane lulus saat test masuk sekbang. Dari 139 orang pendaftar, yang lulus tes 50 orang.
Kemudian lanjut tes bakat terbang, ane yang terbaik. Dalam tes bakat terbang,
ahamdulillah ane ujian akhir terbang, diuji sama Danlanud Adi Sutjipto. Dan ane
lulus bro, dari 50 orang tersisa 35 orang masuk sekbang (sekolah penerbang),” kata
Jajang.
Setelah lulus pada fase awal nilai terbang terbaik,
ia lanjut ke fase latih dasar. Latih mula ane terbang pake AS 202 Bravo buatan
Switzerland. Dan latih dasar dengan pesawat T-34 Charlie buatan USA. Dengan
Charlie, Alhamdulillah nilai ane juga masih nomer satu,” kata Jajang yang lulus
Sekbang 1999, tergabung dalam angkatan
Sekbang LVII.
Lantaran hasil ini, teman-teman dan
instruktur Jajang menganjurkannya untuk jadi penerbang tempur. Ia melanjutkan
pendidikan di sekolah instruktur di Australia FIC (Flying Instructor Course), setelah
itu ke Sekkau Angkatan LXXXI dan lulus tahun 2007 dan Sesko (ACSC) di Australia
tahun 2012. Ia akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan menjadi penerbang tempur
pesawat Hawk dengan baik.
Lika-liku karir sebagai penerbang
tempur dilalui, sampai satu ketika ada peristiwa yang tak akan bisa dilupakan
Jajang. Ketika itu, Jajang sedang melakukan
latihan rutin bersama tiga pesawat tempur lainnya. Malang tak dapat ditolak, sistem hidrolik
pesawat tempur Hawk itu mengalami
masalah, roda tak bisa keluar. Saat itu bahan bakar ada 2.100 liter.
Lalu ia terbang selama dua jam di udara agar bahan
bakar berkurang. “ Sambil terbang ngabisin fuel , kurang lebih 2 jam, ane terbang tepat di atas rumah ane di
komplek AURI. Ane lihat rumah, terbayang
istri dan anak-anak ane. Yang paling
kecil anak ane juga masih 17 hari, bini juga masih dibebet kain jarik. Berpikir.
Apa bisa ketemu anak dan bini ane,” cerita Jajang.
Lantaran pendidikan yang diterimanya mengajarkan
pendaratan darurat, ia ikuti prosedurnya.
“Bisa saja pesawat jatuh dan ane pakai kursi lontar. Tapi ane ikuti prosedur
untuk turun dengan teknik yang lembut, ketika itu bahan bakar tersisa 150
liter. Alhamdulillah pesawat bisa selamat turun, walau kecepatnnya 280 km/Jam.
Ada gesekan ke aspal di Bandara Syarif Kasim, Pekanbaru dan sempat mengeluarkan
api di belakang pesawat, karena gesekan
badan pesawat dengan landasan aspal,” kata Jajang.
Mimpi seorang Jajang yang berdarah
Betawi telah tercapai. Saat ini ia menjadi salah satu pilar penjaga kedaulatan
udara Indonesia. Ini bukti kontribusi
kecil anak Betawi untuk Indonesia. (ab)
betawi. suku yang terpinggirkan dan tak pernah menganca keluar dari nkri. hidup betawi.
BalasHapus