Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Kamis, 24 Desember 2015

SYLVIANA MURNI, DEPUTI YANG HOBI "SEKOLAH"



Sylviana Murni namanya, atau lebih akrab Sylvi. Perempuan yang lahir di Kota Jakarta pada 11 Oktober 1958 ini merupakan Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Sebelum diangkat menjadi Deputi Gubernur pada September 2013 oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu Joko Widodo (Jokowi), perempuan asli Betawi ini pernah menjabat sebagai Wali Kota Jakarta Pusat periode 2008-2013.

Pada masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Sylvi merupakan perempuan pertama yang menjabat sebagai wali kota di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

"Alhamdulilah, saya merasa sangat beruntung sekali lahir di keluarga yang terus menerus memberikan dukungan untuk saya, baik dari segi pendidikan maupun karier. Ayah dan ibu saya dari dulu selalu menyuruh anak-anaknya untuk sekolah, kalau bisa sampai tingkat paling tinggi," kata Sylvi.

Sylvi merupakan anak ketiga dari sepuluh bersaudara pasangan almarhum Kol (Purn) Drs. HD Moerdjani dan Hj Ni'mah. Terlahir dari ayah yang berprofesi sebagai tentara rupanya telah membuat perempuan berkerudung itu senantiasa menanamkan nilai-nilai kedisiplinan dalam setiap pekerjaan yang dilakoninya.

"Dari kecil, ayah selalu mendidik anak-anaknya belajar disiplin dalam berbagai hal, serta bersikap kritis. Sedangkan ibu saya selalu memberikan bekal agama yang cukup kuat, seperti beribadah, mengaji, sikap rendah diri dan menghormati orang lain," tutur Sylvi.

Bukan hanya nilai-nilai religius, kedisiplinan dan sikap kritis, dia mengungkapkan bahwa kedua orang tuanya juga mengajarkan perihal demokrasi atau kebebasan untuk menyampaikan pendapat kepada anak-anaknya.

Perempuan yang bersuamikan Gde Sardjana ini menceritakan nilai-nilai demokrasi kerap diajarkan oleh kedua orang tuanya di meja makan.

"Jadi, meja makan besar di rumah kami itu diberi nama 'Meja Demokrasi'. Meja itu merupakan sarana komunikasi antara anak dan orang tua. Di meja itu kami boleh saling berdebat, bahkan boleh memprotes kebijakan orang tua," kata Sylvi.

Akan tetapi, sambung dia, seluruh perdebatan dan protes-protes itu hanya dapat disampaikan ketika seluruh anggota keluarga berkumpul di meja tersebut. Setelah makan dan tidak lagi berada di meja itu, maka seluruh anak harus tetap patuh dan hormat kepada kedua orang tua.

Dengan kedisiplinan, ikhtiar dan doa, Sylvi pun berhasil menyelesaikan pendidikannya mulai dari strata satu (S1) hukum administrasi negara di Universitas Jayabaya, strata dua (S2) manajemen kependudukan di Universitas Indonesia dan akhirnya strata tiga (S3) manajemen pendidikan di Universitas Negeri Jakarta.

Seiring dengan jenjang pendidikan yang terus meningkat, karirnya pun ikut melesat. Sylvi memulai karir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai staf penatar di Badan Pembinaan Pendidikan dan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (BP-7) pada 1985 hingga 1987.

Kemudian, dia juga pernah mengisi sejumlah jabatan tinggi di Pemprov DKI, di antaranya Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil pada 2001 hingga 2004, Kepala Dinas Pendidikan Dasar pada 2004 hingga 2008 dan Wali Kota Jakarta Pusat sebelum akhirnya menempati jabatan sebagai Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan saat ini.

"Yang paling penting bagi saya adalah bagaimana saya bisa mempertanggungjawabkan kepemimpinan itu dengan sebaik-baiknya. Tentu saja itu semua bukan lah perkara mudah. Dibutuhkan tekad yang sangat kuat, integritas tinggi serta totalitas dalam menjalaninya," kata Sylvi penuh semangat.

Bersekolah dan Berorganisasi
 

  
Perempuan yang pernah dinobatkan menjadi None DKI Jakarta pada 1981 itu mengaku hobinya sejak kecil adalah "sekolah". Namun, sekolah yang dia maksud itu bukan hanya berupa pendidikan formal, melainkan segala hal baru dalam kehidupannya.

"Saya sih dari dulu hobinya sekolah. Maksudnya, ilmu itu kan selalu baru, jadi saya harus terus belajar dan semangat belajar saya harus tinggi. Semua hal baru yang saya pelajari itu saya anggap seperti sekolah saja. Misalnya, baru-baru ini saya belajar IT, saya belajar pakai laptop, komputer tablet, kemudian membuat akun-akun di media sosial," kata Sylvi sambil tertawa.

Selain belajar, dia juga mengaku senang sekali mengajar. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi PNS dan dosen. Kedua cita-cita itu pun kini sudah berhasil dicapainya.

Perempuan yang sudah memiliki empat cucu itu pernah menjadi dosen di beberapa universitas di Indonesia, antara lain Universitas Indonesia, Universitas Borobudur, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Prof. DR Hamka, dan Universitas Islam Asy-Syafi'iyah.

"Saya suka sekali belajar dan mengajari orang, makanya selain jadi PNS, saya juga mau jadi guru atau dosen. Ternyata, sekarang saya bisa menjadi dosen. Saya mengajar di universitas negeri dan swasta," ujar Sylvi.
 

Lebih lanjut, Sylvi selalu berpendapat bahwa hanya dengan pendidikan, maka seseorang dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki hidup. Oleh karena itu, dia sangat berambisi untuk memajukan pendidikan dalam skala nasional.

Kedisiplinan, ilmu tentang hidup serta pelajaran agama yang didapat secara langsung dari kedua orang tuanya ternyata memberikan pengaruh yang amat besar terhadap perkembangan diri Sylvi.

Ditambah pula dengan energi positif dan semangat yang terus dipupuk dalam kehidupannya sehari-hari, Sylvi tidak hanya hobi bersekolah, tetapi juga hobi berorganisasi.

Pengalaman berorganisasi dimulai Sylvi sejak masih menuntut ilmu di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu melalui Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan karang taruna di lingkungan tempat tinggalnya. Kesukaannya untuk selalu terlibat dalam organisasi pun masih terus berlanjut sampai sekarang.

"Dunia organisasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan saya. Bagi saya, kegiatan berorganisasi adalah the first university ketimbang sarana pendidikan formal semacam sekolah maupun kampus," sebut Sylvi.

Cinta keluarga
 

Dengan kesibukannya sebagai PNS dan dosen serta kegiatan organisasi yang sepertinya tidak pernah berkesudahan, Sylvi mengaku selama ini tidak pernah merasa kesulitan untuk membagi waktunya, terutama dengan keluarga.

"Biar bagaimanapun, keluarga adalah prioritas. Semua yang saya lakukan adalah semata-mata untuk keluarga. Semuanya bisa saya lakukan karena ridho dan dukungan dari suami dan anak-anak saya," kata Sylvi.

Membagi waktu dengan keluarga disela-sela segudang kesibukannya, bagi Sylvi merupakan suatu tantangan, sehingga harus diatur sedemikian rupa agar waktu berkumpul bersama tidak dilewatkan begitu saja.

"Kuncinya adalah komunikasi. Saya selalu menekankan bahwa komunikasi itu penting. Selama kami selalu berkomunikasi, kami pasti bisa berkumpul bersama. Berkumpul itu bukan hanya saat libur saja, tetapi bisa juga di hari-hari kerja biasa, yang penting komunikasi. Manfaatkan teknologi yang ada saat ini," tutur Sylvi.

Dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, dia pun mengaku tidak pernah berselisih dengan suami. Justru hal tersebut menjadikannya semakin bersemangat dalam membina rumah tangga.

"Pendidikan saya memang lebih tinggi dari suami, saya S3, sedangkan suami saya S2. Tapi tidak pernah ada masalah. Justru kerja sama kami semakin bagus. Yang penting tidak saling melecehkan dan harus tetap saling menghargai. Agama harus dijadikan landasan yang kuat, karena menurut agama, suami adalah imam, maka saya harus tetap ikut saran suami," ucap Sylvi.

Perempuan berusia 57 tahun itu menegaskan apabila suaminya sewaktu-waktu memintanya untuk berhenti bekerja, maka dia akan dengan senang hati mengikuti permintaan suaminya itu. Namun dia merasa beruntung karena sejauh ini suaminya tidak pernah menuntut hal tersebut, malah justru meminta agar Sylvi bekerja lebih profesional.

"Saya sadar bahwa saya bukan saja milik keluarga, tetapi juga milik masyarakat Jakarta. Agar semuanya bisa berjalan beriringan, harus ada komunikasi dan team work. Saya merasa beruntung karena semua pihak, terlebih suami dan anak-anak, mendukung saya. Jadi, saya harus mengabdi dengan sebaik-baiknya, baik kepada keluarga maupun masyarakat," tutup Sylvi. (Antara/ab)

Jumat, 11 September 2015

SAATNYA KEMBANGIN BUDAYA BETAWI



Bagi mereka yang selama ini menyuarakan perlunya pengembangan budaya Betawi di ibu kota DKI Jakarta, maka sekarang lah saatnya untuk melaksanakan apa yang disuarakan itu. Payung  hukum pengembangan budaya Betawi sudah ada.

Di usia Jakarta yang ke-488 tahun, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta pada 18 Agustus 2015 secara resmi mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.  Perda yang selama ini dinanti masyarakat Betawi.

Maklum ada kekhawatiran sejumlah kalangan, khususnya tokoh Betawi, budaya Betawi bakal punah jika tidak ada payung hukum pengembangan budaya suku bangsa yang tinggal di Jakarta itu. Padahal, budaya Betawi merupakan salah satu unsur pembentuk budaya Indonesia.

Rapat Paripurna Pengesahan Perda Pelestarian Kebudayan Betawi itu dipimpin langsung oleh Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi, didampingi dua Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik dan Triwisaksana. Selain itu, turut hadir Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat.

Perda itu disahkan antara lain untuk memantapkan keberadaan budaya Betawi sebagai tuan rumah di Jakarta. Perda tersebut juga merupakan bukti bahwa budaya Betawi merupakan modal dasar atau aset yang sangat penting dan strategis untuk mengembangkan prospek pariwisata Jakarta ke depan.

Perda yang terdiri dari 10 bab dan 49 pasal itu antara lain mengatur penumbuhkembangan kebudayaan Betawi sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat Jakarta terhadap pelestarian budaya Betawi.

Juga diatur bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) menetapkan kebijakan untuk melakukan pembinaan, pengawasan, pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pelestarian kebudayaan Betawi dan menetapkan kawasan kebudayaan Betawi serta menyusun rencana induk.

Sementara itu, masyarakat berhak memberikan masukan kepada pemda dalam upaya pelestarian kebudayaan betawi. Masyarakat pun berhak menyimpan, merawat, dan melestarikan naskah kuno budaya Betawi dengan mendaftarkannya ke perpustakaan umum daerah.

Yang bakal menyemarakkan kebetawian di Jakarta ini adalah adanya aturan yang memutuskan bahwa Pemprov DKI wajib menerapkan kesenian Betawi dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah dengan memasukkan mata pelajaran muatan lokal kesenian Betawi.

Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta melestarikan kebudayaan Betawi.

    Payung hukum

Gubernur Ahok mengatakan, keberadaan Perda itu akan menjadi payung hukum bagi program dan kegiatan pelestarian budaya Betawi yang selama ini telah dilaksanakan Pemprov DKI.

"Sebetulnya selama ini beberapa hotel sudah melakukan pelestarian budaya Betawi, seperti membuat suvenir-suvenir khas. Tapi kita belum punya dasarnya. Karena sekarang sudah ada perda-nya, kita harap budaya Betawi semakin lestari," katanya.

Pemprov DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu pernah menjanjikan pengembangan masyarakat Betawi beserta kebudayaannya di Ibu kota negara ini.

Komitmen itu dimaknai bahwa pemprov telah menjawab keresahan yang ada di sebagian tokoh dan masyarakat Betawi, yang merupakan “tuan rumah” di Kota Metropolitan, atas minimnya ruang dan lokasi bagi orang Betawi dalam menancapkan eksistensinya di ibu kota, khususnya dalam berkebudayaan.

Keberadaan masyarakat Betawi beserta kebudayaannya dianggap banyak kalangan sebagai kekuatan besar yang jika terus dilestarikan dan dikembangkan akan menjadi sebuah potensi tersendiri bagi Kota Jakarta. Karena itu, Pemprov DKI Jakarta telah memantapkan komitmen untuk mendukung hal tersebut.

Komitmen itu antara lain, Pemprov DKI Jakarta akan mengharuskan penggunaan ornamen Betawi pada bangunan-bangunan di Jakarta.

Pemprov juga akan menyelesaikan pembangunan kawasan baru di Kampung Betawi Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di kawasan tersebut  dibangun beberapa fasilitas tambahan, seperti ruang pementasan, galeri dan rumat adat Betawi.

Demi melestarikan kebudayaan asli warga ibukota, pada tahun 2000 Pemda DKI Jakarta membentuk Perkampungan Budaya Betawi (PBB) di Setu Babakan, Jakarta Selatan. Pembentukan perkampungan budaya ini ditetapkan lewat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 92 tahun 2000 Tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi.

Namun, perkembangan Setu Babakan masih di luar harapan. Padahal gubernur telah membentuk Lembaga Pengelola-Perkampungan Budaya Betawi melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta.

Komitmen lainnya adalah pelaksanaan pembangunan Masjid Raya Jakarta yang keseluruhannya bangunannya menggunakan karakter Betawi,  serta pembiasaan warga Jakarta untuk menggunakan baju Betawi sekali dalam seminggu .

Pemprov juga akan menyegerakan pengenalan kebudayaan dan filosofi Betawi sejak usia dini dengan melaksanakan program muatan lokal untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

    Sosialisasi

Setelah Perda tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi disahkan, Pemprov DKI Jakarta menyatakan akan segera melakukan sosialisasi Perda tersebut.

"Akan tetapi, sebelum disosialisasikan, perda tersebut harus diperiksa dan diverifikasi dulu oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Setelah itu, baru bisa dioperasikan," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Purba Hutapea.

Selain itu, katanya, sebelum memulai sosialisasi, Pemprov juga akan menindaklanjuti perda tersebut dengan menerbitkan peraturan gubernur (pergub) yang dibutuhkan sebagai payung hukum pelestarian kebudayaan Betawi di Jakarta.

Namun ia mengingatkan bahwa tanggung jawab dan kewajiban untuk menindaklanjuti perda tersebut bukan hanya terletak pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan saja, tetapi juga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya.

Selain itu, juga menjadi tanggung jawab pihak swasta, tentunya seluruh masyarakat Jakarta.  Artinya, Pemprov Jakarta bakal ngeluarin peraturan-peraturan di bawah Perda agar aturan itu bisa operasional. 

Sementara masyarakat, khususnya masyarakat Betawi, agar langsung menggiatkan dan melaksanakan segala yang diatur dalam Perda itu. Jangan sampai payung hukum pelestarian kebudayaan Betawi itu menjadi jadi peraturan yang hanya di atas kertas.

Kalo bukan kite, siape lagi! Kalo bukan sekarang, kapan lagi! (ab)

Rabu, 17 Juni 2015

JAKARTA 488 TAHUN, ORANG BETAWI KEMANE?



Patung MHT (ab)
Jakarta tepat berusia 488 tahun pada 22 Juni 2015. Terlepas masih adanya kontroversi kapan sebenarnya hari lahir Jakarta, yang pasti pada tahun ini masih ada kegelisahan di kalangan masyarakat Betawi, suku bangsa asli Ibukota Jakarta, tentang eksistensinya.

Bukan menuntut agar diberikan hak istimewa, namun pengakuan pemerintah, baik pusat maupun daerah, terhadap orang Betawi bisa menjadi momentum bagi mereka untuk lebih berkontribusi dalam pembangunan.

Memang ada sejumlah orang Betawi yang bekerja sebagai pegawai di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, itu bukan bagian dari kebijakan pemprov dalam merekrut pegawainya.

Pemda DKI Jakarta juga mengeluarkan Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.92 Tahun 2000 Tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi Di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Namun, perkembangan belum seperti yang diharapkan.

Melalui keputusan itu, kawasan Setu Babakan ini dijadikan sebagai wilayah pelestarian alam lingkungan ekosistem serta seni budaya tradisional masyarakat Betawi dengan tidak menghambat perkembangan warganya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Tertunda-tundanya pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, juga menunjukkan kurang tanggapnya pemerintah daerah saat ini. Pahal Raperda ini diperlukan sebagai payung hukum pengembangan kebudayaan dan masyarakat Betawi.

Karena itu, pemda dan pemangku kepentingan Jakarta perlu menempuh upaya agar orang Betawi bisa “kembali ke Jakarta” setelah selama ini menjadi korban pembangunan, yang membuat mereka terpencar hingga pinggiran Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Ngaji dan maen pukulan

Saat ini sepertinya masyarakat Jakarta belum mengenal dengan baik "siapa orang Betawi" itu. Mereka lebih mengenal orang Betawi sebagai “orang yang suka maen pukulan” atau berantem kayak jagoan.

Orang Betawi memang identik dengan "ngaji dan maen pukulan". Itu menandakan bahwa mereka adalah orang yang agamis. Maen pukulan pun tidak sembarangan. Itu digunakan untuk membela diri. “Ente jual ane beli”, begitu yang biasa diungkapkan orang Betawi.

Masyarakat Jakarta lebih banyak mengenal orang Betawi sebagai masyarakat yang suka "main otot". Ini akibat media massa lokal maupun nasional, termasuk media sosial (medsos) seperti facebook dan twitter, memberitakan isu tersebut seperti perkelahian antarwilayah, antarkelompok dan kerusuhan yang seringkali menggunakan nama Betawi.

Jika mau disusuri lebih dalam, tidak semua mereka yang suka "main otot" itu adalah orang Betawi asli. Ada di antara mereka merupakan pendatang yang kebetulan sudah lama bergaul dengan orang Betawi. Mereka kemudian mengaku sebagai orang Betawi.

Saat ini sebenarnya banyak orang Betawi yang "main otak" dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan bergaul dengan berbagai elemen bangsa dalam semua bidang kehidupan. Aktivitasnya pun tidak hanya di dalam negeri, tapi juga melanglang buana.

Di antara mereka ada yang menjadi ulama, jenderal TNI, dokter, dokter spesialis, birokrat, politikus, anggota legislatif, wartawan, dosen, penerbang pesawat tempur, fotografer makro kelas internasional, penulis, bankir, ahli linguistik, sejarahwan, dan budayawan.

Sifat orang Betawi yang humoris, jenaka, menerima pendatang dengan tangan terbuka, menghargai orang tua, mencintai keluarga dan menghormati kebudayaan, juga kurang dipahami sebagian warga Jakarta.

Dipahami bahwa penilaian negatif sebagian masyarakat Jakarta itu, bukanlah kesalahan mereka. Informasi yang mereka dapat cuma seperti itu. Karena itu, selain melakukan perbaikan dari faktor eksternal, tentunya internal orang Betawi juga perlu diperbaiki.

Seluruh pemangku kepentingan kebetawian harus segera bergerak. Jangan hanya menaroh ide dan gagasan di atas kertas dan di mulut doang.

Betawi dulu pernah punya ulama terkenal seperti KH Abdullah Syafi'i, Guru Mansyur dan Guru Amin, politikus Muhammad Husni Thamrin, seniman Ismail Marzuki, penulis Firman Muntaco, dan seniman serba bisa Benyamin S.

Kemana orang Betawi sekarang? Mengapa kini seolah-olah tidak mampu melahirkan orang-orang sekaliber mereka?

Harapan tentunya disandarkan kepada pemda serta sejumlah ormas kebetawian, Keluarga Mahasiswa Betawi (KMB), yang berisi kaum cendikia orang Betawi, dan Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi. (ab)

Sabtu, 09 Mei 2015

JAJANG, PILOT PESAWAT TEMPUR BERDARAH BETAWI




(Dok pribadi/Majalahbetawi.com)
Betawi punya seorang pilot pesawat tempur. Namanya Letnan Kolonel Penerbang Jajang Setiawan, anak dari H. Salam Rusyen yang kelahiran Menceng, Cengkareng dan ibu Hj. Tjitjih Sukaesih yang kelahiran Banten).

Jajang mulai 10 Oktober 2014 menjabat sebagai Komandan Skuadron Udara 12 Pekanbaru. Sebelum menjadi Danskadron Udara 12, ia menjabat Kafaslat Lanud Roesmin Nurjadin. Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-40 pada 17 Maret 2015, ia meraih 2.000 jam terbang dengan pesawat tempur Hawk. Prestasi langka di Skuadron Udara 12 Pekanbaru.

Kisah sukses Jajang menjadi penerbang tempur, menurut majalahbetawi.com, berawal dari cita-citanya yang kuat sejak duduk di bangku SMU 8 PGRI, Greenville, Jakarta Barat tahun 1990-1993. Laki-laki kelahiran Grogol, Jakarta Barat, 17 Maret 1975 itu bercita-cita menjadi penerbang tempur, sehabis nonton film Perwira Ksatria di Bioskop 21 Grogol.

Ketika SD sampai SMU kelas 1 tak ada perestasi istimewa yang dia peroleh. “Belajar biasa saja, malah males pegang buku,” kata pria yang mengaku pernah belajar seni pukul Betawi ke Kong Amat di Menceng, Cengkareng, Jakarta Barat.

Titik awal kebangkitannya adalah ketika duduk di bangku SMU kelas 2. “Ane pengen bahagiakan orang tua, kasih bangga ke mereka, kalau anaknya bisa berprestasi di sekolah,” kata Jajang anak kedua dari empat bersaudara ini.

Setelah lulus SMU pada 1993, ia mendaftar untuk menjadi Taruna TNI AU, namun ia gagal dalam sesi tes penerimaan Taruna. “Ketika gagal itu, ane kerja apa saja, jadi sopir gas. Orang tua ampe sedih, dia enggak bolehin ane nonton segala yang ada hubungannya dengan tentara,” kata Jajang. 

Meski kurang didukung keluarga karena mereka berpikir masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI itu hanya untuk anak pejabat, Jajang yang hanya anak pensiunan “tukang blanwir” (petugas pemadam kebakaran) golongan II A, sambil bekerja menjadi sopir terus latihan guna mengikuti tes taruna pada 1994.

Di kesempatan kedua ini ia diterima menjadi Taruna  AKABRI Udara di Magelang. Ia lulus seleksi Jakarta peringkat 5 dan AKABRI Udara urutan 19. “Ane haru, anak ‘tukang  blanwir’ bisa lolos AKABRI, yang lain babenya kebanyakan hebat-hebat,” katanya.

Pendidikan di AKABRI dilalui Jajang dengan cukup berat. “Tapi diajak ejoy. Semua demi suatu tujuan untuk menjadi pemimpin  di sektor nya masing-masing  sesuai kejuruan.  Sampe akhirnye ane lulus jadi perwira. Dan angkatan ane adalah angkatan yang terakhir dilantik oleh pak Harto (Presiden Soeharto) sebelum beliau lengser,” katanya.  
Kelar lulus Taruna dengan pangkat Letda Teknik Pesawat Terbang, Jajang  pulang ke Jakarta naik kereta api dan turun di Gambir. “Naek taksi.  Sampe di Grogol, pada kaget tuh tetangga. Eh... siapa tuh pake pakean polisi? Cokelat-cokelat.  Ane cuma senyum ke mereka. Aye Jajang  mpok, bang,” ungkap Jajang. Lalu,”Lah busyet dah lu. Eluu jaaaang… masuk  polisi lu? Bukan bang. ane masuk. AKABRI . Setelah itu mereka  manggil ane pak letnan, calon komandan,” kata Jajang.

Jadi penerbang

Jajang kemudian dianjurkan oleh komandannya untuk sekolah menjadi penerbang. Karena termotivasi, ia semangat untuk jadi penerbang.  Berbarengan dengan persiapan tes sekolah penerbang, Jajang menyusun skripsi. “Alhamdulillah skripsi ane terbaik ke-2 di kelas AE (Aeronautika),dapet nilai A-,” kata Jajang. 

Ia ngotot ingin bisa lolos seleksi. “Ahamdulillah ane lulus saat test masuk sekbang. Dari  139 orang pendaftar, yang lulus tes 50 orang. Kemudian lanjut tes bakat terbang, ane yang terbaik. Dalam tes bakat terbang, ahamdulillah ane ujian akhir terbang, diuji sama Danlanud Adi Sutjipto. Dan ane lulus bro, dari 50 orang tersisa 35 orang masuk sekbang (sekolah penerbang),” kata Jajang.

Setelah  lulus pada fase awal nilai terbang terbaik, ia lanjut ke fase latih dasar. Latih mula ane terbang pake AS 202 Bravo buatan Switzerland. Dan latih dasar dengan pesawat T-34 Charlie buatan USA. Dengan Charlie, Alhamdulillah nilai ane juga masih nomer satu,” kata Jajang yang lulus Sekbang 1999,  tergabung dalam angkatan Sekbang LVII. 

Lantaran hasil ini, teman-teman dan instruktur Jajang menganjurkannya untuk jadi penerbang tempur. Ia melanjutkan pendidikan di sekolah instruktur di Australia FIC (Flying Instructor Course), setelah itu ke Sekkau Angkatan LXXXI dan lulus tahun 2007 dan Sesko (ACSC) di Australia tahun 2012. Ia akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan menjadi penerbang tempur pesawat Hawk dengan baik.

Lika-liku karir sebagai penerbang tempur dilalui, sampai satu ketika ada peristiwa yang tak akan bisa dilupakan Jajang.  Ketika itu, Jajang sedang  melakukan  latihan rutin bersama tiga pesawat tempur lainnya.  Malang tak dapat ditolak, sistem hidrolik pesawat tempur Hawk  itu mengalami masalah, roda tak bisa keluar. Saat itu bahan bakar ada 2.100 liter.

Lalu ia  terbang selama dua jam di udara agar bahan bakar berkurang. “ Sambil terbang ngabisin fuel , kurang lebih 2 jam,  ane terbang tepat di atas rumah ane di komplek AURI.  Ane lihat rumah, terbayang istri dan anak-anak ane.  Yang paling kecil anak ane juga masih 17 hari, bini juga masih dibebet kain jarik.  Berpikir.  Apa bisa ketemu anak dan bini ane,” cerita Jajang.

Lantaran  pendidikan yang diterimanya mengajarkan pendaratan darurat, ia ikuti  prosedurnya. “Bisa saja pesawat jatuh dan ane pakai kursi lontar. Tapi ane ikuti prosedur untuk turun dengan teknik yang lembut, ketika itu bahan bakar tersisa 150 liter. Alhamdulillah pesawat bisa selamat turun, walau kecepatnnya 280 km/Jam. Ada gesekan ke aspal di Bandara Syarif Kasim, Pekanbaru dan sempat mengeluarkan api  di belakang pesawat, karena gesekan badan pesawat dengan landasan aspal,” kata Jajang.  

Mimpi seorang Jajang yang berdarah Betawi telah tercapai. Saat ini ia menjadi salah satu pilar penjaga kedaulatan udara Indonesia.  Ini bukti kontribusi kecil anak Betawi untuk Indonesia. (ab)