Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Senin, 14 Maret 2016

NYOK BANGUN KEMBALI IDENTITAS BETAWI



Dalam beberapa tahun terakhir ini, ada gejala masyarakat Betawi, penduduk asli Jakarta, tengah membangun kembali identitasnya.

Maklum, selama ini orang Betawi dibayangi stereotip atau prasangka sebagai warga yang inferior, tidak berpendidikan, berwawasan sempit, dan kaum pinggiran.

Gejala itu antara lain pernah terlihat oleh guru besar antropologi dan pakar kebudayaan Betawi dari Universitas Indonesia (UI) Yasmine Z Shahab. Ia menangkap gejala itu di zaman modern dari sejumlah penelitian yang dilakukannya.

Ternyata, menurut Yasmin, selama ini orang Betawi dengan kultur uniknya hidup dalam bayang-bayang prasangka yang belum tentu benar adanya seperti dianggap inferior, kaum pinggiran. “Padahal tidak," kata Yasmine.

Penglihatan pakar kebudayaan Betawi itu sepertinya benar. Terlihat dari berbagai diskusi sejumlah kelompok masyarakat Betawi di sejumlah kesempatan. Kesadaran agar masyarakat dan budaya Betawi lebih berperan di segala bidang kini telah muncul.

Selama ini, sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang khas, kontribusi Betawi dalam kebudayaan nasional belum dipahami masyarakat Jakarta, bahkan termasuk orang Betawi.

Masyarakat Jakarta lebih mengenal orang Betawi sebagai masyarakat yang suka "main otot" dan keroyokan daripada tentang pencapaian orang Betawi di segala bidang, misalnya di dunia pendidikan, kesehatan dan pemerintahan.

Media massa lokal maupun nasional, termasuk media sosial (medsos) seperti facebook dan twitter, lebih memilih memberitakan isu seperti perkelahian antarwilayah, antarkelompok dan kerusuhan yang seringkali menggunakan nama Betawi, dari pada orang Betawi yang melaksanakan pemberdayaan masyarakat.

Padahal, jika mau disusuri lebih dalam, tidak semua mereka yang suka "main otot" itu adalah orang Betawi asli. Ada di antara mereka merupakan pendatang yang kebetulan sudah lama bergaul dengan orang Betawi, kemudian mengaku sebagai orang Betawi.

Saat ini sebenarnya banyak orang Betawi yang juga "main otak" atau menggunakan intelektual dalam memenuhi kebutuhan hidup dan bergaul dengan berbagai elemen bangsa dalam semua bidang kehidupan. Aktivitasnya pun tidak hanya di dalam negeri, tapi juga hingga melanglang buana.

Di antara mereka ada yang menjadi ulama, jenderal TNI, dokter, dokter spesialis, birokrat, politikus, anggota legislatif, wartawan, dosen, penerbang pesawat tempur, fotografer makro kelas internasional, penulis, bankir, ahli linguistik, sejarahwan, dan budayawan.

Sifat orang Betawi yang humoris, jenaka, menerima pendatang dengan tangan terbuka, menghargai orang tua, mencintai keluarga dan menghormati kebudayaan, juga kurang dipahami sebagian warga Jakarta.

Penilaian negatif sebagian masyarakat Jakarta itu, sebenarnya bukanlah kesalahan mereka. Informasi yang mereka dapat cuma seperti itu. Karena itu, selain memperbaiki kiprah dalam lingkup eksternal, tentunya di lingkup internal orang Betawi juga perlu diperbaiki.

Jangan sampai gambaran yang tidak utuh tentang masyarakat Betawi yang sering ditampilkan sinetron-sinetron di televisi, menjadi referensi utama masyarakat untuk memahami orang Betawi. Dalam tayangan senitron itu jarang ditampilkan orang Betawi yang ramah, berwawasan luas dan beradab.

Masyarakat juga perlu terus diingatkan bahwa Betawi pernah melahirkan sejumlah tokoh. Antara lain ulama terkenal KH Abdullah Syafi'i, Guru Mansyur dan Guru Amin, politikus Muhammad Husni Thamrin, seniman Ismail Marzuki, penulis Firman Muntaco, dan seniman serba bisa Benyamin S.

Muhammad Husni Thamrin, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, dikenal sebagai tokoh yang pernah ikut serta mengatur pemerintahan kota Batavia di samping sebagai wet hounder, juga sebagai locobur germeester, mempunyai kekuasaan eksekutif yang bersifat lokal dalam arti penduduk pribumi, bukan dalam pengertian kewilayahan.

Orang Betawi lain yang pernah ikut menangani pemerintahan kota Jakarta adalah Syafi’ie yang menjadi wakil gubernur di zaman Ali Sadikin, dan Asmawi Manaf, wakil gubernur di zaman Tjokropranolo serta Fauzi Bowo yang pernah menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta.

Di bidang ketentaraan juga ada putera Betawi yang mencapai pangkat letnan jenderal. Ia adalah Letjen TNI (Purn) Muhammad Sanif. Semasa aktif, ia pernah menjabat Pangdam Bukit barisan. Juga ada Mayjen TNI (Purn) H Nachrowi Ramli, yang kini aktif sebagai politikus.

Selain itu, putera-putera Betawi juga tercatat di bidang-bidang lain, seperti di bidang perbankan tampil Abdullah Ali, pernah menjadi Direktur Utama Bank BCA, dan di bidang keilmuan mencuat nama Prof Dr MK Tadjudin yang pernah menjadi Rektor Universitas Indonesia (UI).

Upaya orang Betawi untuk membangun kembali identitas mereka saat ini sepertinya membutuhkan strategi yang pas dan upaya yang kuat. Apalagi, saat ini menjelang pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017.

Seluruh pemangku kepentingan kebetawian harus segera bergerak. Jangan hanya menaroh ide dan gagasan di atas kertas dan di mulut doang.

Badan Musyawarah (Bamus) Masyarakat Betawi, tempat bersatunya ormas kebetawian, harus berada di garis depan. Sementara yang lain, termasuk Keluarga Mahasiswa Betawi (KMB), organisasi ekstra kampus yang berdiri pada 1976, menyokongnya dengan mempersiapkan intelektual Betawi yang merupakan aset bangsa. (ab)