Dalam beberapa tahun terakhir ini,
ada gejala masyarakat Betawi, penduduk asli Jakarta, tengah membangun kembali
identitasnya.
Maklum, selama ini orang Betawi
dibayangi stereotip atau prasangka sebagai warga yang inferior, tidak
berpendidikan, berwawasan sempit, dan kaum pinggiran.
Gejala itu antara lain pernah terlihat oleh guru besar
antropologi dan pakar kebudayaan Betawi dari Universitas Indonesia (UI) Yasmine
Z Shahab. Ia menangkap gejala itu di zaman modern dari sejumlah penelitian yang
dilakukannya.
Ternyata, menurut Yasmin, selama ini orang Betawi dengan
kultur uniknya hidup dalam bayang-bayang prasangka yang belum tentu benar
adanya seperti dianggap inferior, kaum pinggiran. “Padahal tidak," kata Yasmine.
Penglihatan pakar kebudayaan Betawi
itu sepertinya benar. Terlihat dari berbagai diskusi sejumlah kelompok
masyarakat Betawi di sejumlah kesempatan. Kesadaran agar masyarakat dan budaya
Betawi lebih berperan di segala bidang kini telah muncul.
Selama ini, sebagai salah satu suku bangsa
yang memiliki kebudayaan yang khas, kontribusi Betawi dalam kebudayaan nasional
belum dipahami masyarakat Jakarta, bahkan termasuk orang Betawi.
Masyarakat Jakarta lebih mengenal orang Betawi sebagai masyarakat
yang suka "main otot" dan keroyokan daripada tentang pencapaian orang Betawi di segala
bidang, misalnya di dunia pendidikan, kesehatan dan pemerintahan.
Media massa lokal maupun nasional, termasuk media sosial (medsos) seperti facebook dan twitter, lebih memilih memberitakan isu seperti
perkelahian antarwilayah, antarkelompok dan kerusuhan yang seringkali
menggunakan nama Betawi, dari pada orang Betawi yang melaksanakan pemberdayaan
masyarakat.
Padahal, jika mau disusuri lebih dalam, tidak semua mereka
yang suka "main otot" itu adalah orang Betawi asli. Ada di antara
mereka merupakan pendatang yang kebetulan sudah lama bergaul dengan orang
Betawi, kemudian mengaku sebagai orang Betawi.
Saat ini sebenarnya banyak orang Betawi yang juga "main
otak" atau menggunakan intelektual dalam memenuhi kebutuhan hidup dan
bergaul dengan berbagai elemen bangsa dalam semua bidang kehidupan.
Aktivitasnya pun tidak hanya di dalam negeri, tapi juga hingga melanglang
buana.
Di antara mereka ada yang menjadi ulama, jenderal TNI,
dokter, dokter spesialis, birokrat, politikus, anggota legislatif, wartawan,
dosen, penerbang pesawat tempur, fotografer makro kelas internasional, penulis,
bankir, ahli linguistik, sejarahwan, dan budayawan.
Sifat orang Betawi yang humoris, jenaka, menerima pendatang
dengan tangan terbuka, menghargai orang tua, mencintai keluarga dan menghormati
kebudayaan, juga kurang dipahami sebagian warga Jakarta.
Penilaian negatif sebagian masyarakat Jakarta itu, sebenarnya
bukanlah kesalahan mereka. Informasi yang mereka dapat cuma seperti itu. Karena
itu, selain memperbaiki kiprah dalam lingkup eksternal, tentunya di lingkup internal
orang Betawi juga perlu diperbaiki.
Jangan sampai gambaran yang tidak utuh tentang masyarakat
Betawi yang sering ditampilkan sinetron-sinetron di televisi, menjadi referensi
utama masyarakat untuk memahami orang Betawi. Dalam tayangan senitron itu jarang
ditampilkan orang Betawi yang ramah, berwawasan luas dan beradab.
Masyarakat juga perlu terus diingatkan bahwa Betawi pernah melahirkan
sejumlah tokoh. Antara lain ulama terkenal KH Abdullah Syafi'i, Guru Mansyur
dan Guru Amin, politikus Muhammad Husni Thamrin, seniman Ismail Marzuki,
penulis Firman Muntaco, dan seniman serba bisa Benyamin S.
Muhammad Husni Thamrin, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, dikenal
sebagai tokoh yang pernah ikut serta mengatur pemerintahan kota Batavia di
samping sebagai wet hounder, juga
sebagai locobur germeester, mempunyai
kekuasaan eksekutif yang bersifat lokal dalam arti penduduk pribumi, bukan
dalam pengertian kewilayahan.
Orang Betawi lain yang pernah ikut menangani pemerintahan kota
Jakarta adalah Syafi’ie yang menjadi wakil gubernur di zaman Ali Sadikin, dan
Asmawi Manaf, wakil gubernur di zaman Tjokropranolo serta Fauzi Bowo yang
pernah menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta.
Di bidang ketentaraan juga ada putera Betawi yang mencapai
pangkat letnan jenderal. Ia adalah Letjen TNI (Purn) Muhammad Sanif. Semasa
aktif, ia pernah menjabat Pangdam Bukit barisan. Juga ada Mayjen TNI (Purn) H Nachrowi
Ramli, yang kini aktif sebagai politikus.
Selain itu, putera-putera Betawi juga tercatat di bidang-bidang
lain, seperti di bidang perbankan tampil Abdullah Ali, pernah menjadi Direktur
Utama Bank BCA, dan di bidang keilmuan mencuat nama Prof Dr MK Tadjudin yang pernah
menjadi Rektor Universitas Indonesia (UI).
Upaya orang Betawi untuk membangun kembali identitas mereka
saat ini sepertinya membutuhkan strategi yang pas dan upaya yang kuat. Apalagi,
saat ini menjelang pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017.
Seluruh pemangku kepentingan kebetawian harus segera
bergerak. Jangan hanya menaroh ide dan gagasan di atas kertas dan di mulut
doang.
Badan Musyawarah (Bamus) Masyarakat Betawi, tempat bersatunya
ormas kebetawian, harus berada di garis depan. Sementara yang lain, termasuk Keluarga Mahasiswa Betawi
(KMB), organisasi ekstra kampus yang berdiri pada 1976, menyokongnya dengan
mempersiapkan intelektual Betawi yang merupakan aset bangsa. (ab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar