Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Kamis, 24 Desember 2015

SYLVIANA MURNI, DEPUTI YANG HOBI "SEKOLAH"



Sylviana Murni namanya, atau lebih akrab Sylvi. Perempuan yang lahir di Kota Jakarta pada 11 Oktober 1958 ini merupakan Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Sebelum diangkat menjadi Deputi Gubernur pada September 2013 oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu Joko Widodo (Jokowi), perempuan asli Betawi ini pernah menjabat sebagai Wali Kota Jakarta Pusat periode 2008-2013.

Pada masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Sylvi merupakan perempuan pertama yang menjabat sebagai wali kota di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

"Alhamdulilah, saya merasa sangat beruntung sekali lahir di keluarga yang terus menerus memberikan dukungan untuk saya, baik dari segi pendidikan maupun karier. Ayah dan ibu saya dari dulu selalu menyuruh anak-anaknya untuk sekolah, kalau bisa sampai tingkat paling tinggi," kata Sylvi.

Sylvi merupakan anak ketiga dari sepuluh bersaudara pasangan almarhum Kol (Purn) Drs. HD Moerdjani dan Hj Ni'mah. Terlahir dari ayah yang berprofesi sebagai tentara rupanya telah membuat perempuan berkerudung itu senantiasa menanamkan nilai-nilai kedisiplinan dalam setiap pekerjaan yang dilakoninya.

"Dari kecil, ayah selalu mendidik anak-anaknya belajar disiplin dalam berbagai hal, serta bersikap kritis. Sedangkan ibu saya selalu memberikan bekal agama yang cukup kuat, seperti beribadah, mengaji, sikap rendah diri dan menghormati orang lain," tutur Sylvi.

Bukan hanya nilai-nilai religius, kedisiplinan dan sikap kritis, dia mengungkapkan bahwa kedua orang tuanya juga mengajarkan perihal demokrasi atau kebebasan untuk menyampaikan pendapat kepada anak-anaknya.

Perempuan yang bersuamikan Gde Sardjana ini menceritakan nilai-nilai demokrasi kerap diajarkan oleh kedua orang tuanya di meja makan.

"Jadi, meja makan besar di rumah kami itu diberi nama 'Meja Demokrasi'. Meja itu merupakan sarana komunikasi antara anak dan orang tua. Di meja itu kami boleh saling berdebat, bahkan boleh memprotes kebijakan orang tua," kata Sylvi.

Akan tetapi, sambung dia, seluruh perdebatan dan protes-protes itu hanya dapat disampaikan ketika seluruh anggota keluarga berkumpul di meja tersebut. Setelah makan dan tidak lagi berada di meja itu, maka seluruh anak harus tetap patuh dan hormat kepada kedua orang tua.

Dengan kedisiplinan, ikhtiar dan doa, Sylvi pun berhasil menyelesaikan pendidikannya mulai dari strata satu (S1) hukum administrasi negara di Universitas Jayabaya, strata dua (S2) manajemen kependudukan di Universitas Indonesia dan akhirnya strata tiga (S3) manajemen pendidikan di Universitas Negeri Jakarta.

Seiring dengan jenjang pendidikan yang terus meningkat, karirnya pun ikut melesat. Sylvi memulai karir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai staf penatar di Badan Pembinaan Pendidikan dan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (BP-7) pada 1985 hingga 1987.

Kemudian, dia juga pernah mengisi sejumlah jabatan tinggi di Pemprov DKI, di antaranya Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil pada 2001 hingga 2004, Kepala Dinas Pendidikan Dasar pada 2004 hingga 2008 dan Wali Kota Jakarta Pusat sebelum akhirnya menempati jabatan sebagai Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan saat ini.

"Yang paling penting bagi saya adalah bagaimana saya bisa mempertanggungjawabkan kepemimpinan itu dengan sebaik-baiknya. Tentu saja itu semua bukan lah perkara mudah. Dibutuhkan tekad yang sangat kuat, integritas tinggi serta totalitas dalam menjalaninya," kata Sylvi penuh semangat.

Bersekolah dan Berorganisasi
 

  
Perempuan yang pernah dinobatkan menjadi None DKI Jakarta pada 1981 itu mengaku hobinya sejak kecil adalah "sekolah". Namun, sekolah yang dia maksud itu bukan hanya berupa pendidikan formal, melainkan segala hal baru dalam kehidupannya.

"Saya sih dari dulu hobinya sekolah. Maksudnya, ilmu itu kan selalu baru, jadi saya harus terus belajar dan semangat belajar saya harus tinggi. Semua hal baru yang saya pelajari itu saya anggap seperti sekolah saja. Misalnya, baru-baru ini saya belajar IT, saya belajar pakai laptop, komputer tablet, kemudian membuat akun-akun di media sosial," kata Sylvi sambil tertawa.

Selain belajar, dia juga mengaku senang sekali mengajar. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi PNS dan dosen. Kedua cita-cita itu pun kini sudah berhasil dicapainya.

Perempuan yang sudah memiliki empat cucu itu pernah menjadi dosen di beberapa universitas di Indonesia, antara lain Universitas Indonesia, Universitas Borobudur, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Prof. DR Hamka, dan Universitas Islam Asy-Syafi'iyah.

"Saya suka sekali belajar dan mengajari orang, makanya selain jadi PNS, saya juga mau jadi guru atau dosen. Ternyata, sekarang saya bisa menjadi dosen. Saya mengajar di universitas negeri dan swasta," ujar Sylvi.
 

Lebih lanjut, Sylvi selalu berpendapat bahwa hanya dengan pendidikan, maka seseorang dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki hidup. Oleh karena itu, dia sangat berambisi untuk memajukan pendidikan dalam skala nasional.

Kedisiplinan, ilmu tentang hidup serta pelajaran agama yang didapat secara langsung dari kedua orang tuanya ternyata memberikan pengaruh yang amat besar terhadap perkembangan diri Sylvi.

Ditambah pula dengan energi positif dan semangat yang terus dipupuk dalam kehidupannya sehari-hari, Sylvi tidak hanya hobi bersekolah, tetapi juga hobi berorganisasi.

Pengalaman berorganisasi dimulai Sylvi sejak masih menuntut ilmu di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu melalui Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan karang taruna di lingkungan tempat tinggalnya. Kesukaannya untuk selalu terlibat dalam organisasi pun masih terus berlanjut sampai sekarang.

"Dunia organisasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan saya. Bagi saya, kegiatan berorganisasi adalah the first university ketimbang sarana pendidikan formal semacam sekolah maupun kampus," sebut Sylvi.

Cinta keluarga
 

Dengan kesibukannya sebagai PNS dan dosen serta kegiatan organisasi yang sepertinya tidak pernah berkesudahan, Sylvi mengaku selama ini tidak pernah merasa kesulitan untuk membagi waktunya, terutama dengan keluarga.

"Biar bagaimanapun, keluarga adalah prioritas. Semua yang saya lakukan adalah semata-mata untuk keluarga. Semuanya bisa saya lakukan karena ridho dan dukungan dari suami dan anak-anak saya," kata Sylvi.

Membagi waktu dengan keluarga disela-sela segudang kesibukannya, bagi Sylvi merupakan suatu tantangan, sehingga harus diatur sedemikian rupa agar waktu berkumpul bersama tidak dilewatkan begitu saja.

"Kuncinya adalah komunikasi. Saya selalu menekankan bahwa komunikasi itu penting. Selama kami selalu berkomunikasi, kami pasti bisa berkumpul bersama. Berkumpul itu bukan hanya saat libur saja, tetapi bisa juga di hari-hari kerja biasa, yang penting komunikasi. Manfaatkan teknologi yang ada saat ini," tutur Sylvi.

Dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, dia pun mengaku tidak pernah berselisih dengan suami. Justru hal tersebut menjadikannya semakin bersemangat dalam membina rumah tangga.

"Pendidikan saya memang lebih tinggi dari suami, saya S3, sedangkan suami saya S2. Tapi tidak pernah ada masalah. Justru kerja sama kami semakin bagus. Yang penting tidak saling melecehkan dan harus tetap saling menghargai. Agama harus dijadikan landasan yang kuat, karena menurut agama, suami adalah imam, maka saya harus tetap ikut saran suami," ucap Sylvi.

Perempuan berusia 57 tahun itu menegaskan apabila suaminya sewaktu-waktu memintanya untuk berhenti bekerja, maka dia akan dengan senang hati mengikuti permintaan suaminya itu. Namun dia merasa beruntung karena sejauh ini suaminya tidak pernah menuntut hal tersebut, malah justru meminta agar Sylvi bekerja lebih profesional.

"Saya sadar bahwa saya bukan saja milik keluarga, tetapi juga milik masyarakat Jakarta. Agar semuanya bisa berjalan beriringan, harus ada komunikasi dan team work. Saya merasa beruntung karena semua pihak, terlebih suami dan anak-anak, mendukung saya. Jadi, saya harus mengabdi dengan sebaik-baiknya, baik kepada keluarga maupun masyarakat," tutup Sylvi. (Antara/ab)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar