Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Jumat, 03 Januari 2014

FOKLOR BETAWI, APAAN TUH?

Dalam kehidupan bermasyarakat, adakah fungsi foklor itu? Jawabnya adalah ya, ada. Kemudian, adakah yang bisa dibicarakan dan dipelajari dari foklor Betawi, suku bangsa asli yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya? Lagi-lagi jawabnya adalah ada.

Menurut sejumlah ahli, foklor memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai fungsi sosial; sebagai sitem proyeksi, yakni alat pencerminan suatu kelompok folk; sebagai alat pengesanan pranata dan lembaga kebudayaan; sebagai alat pendidikan anak; serta sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi.

Artinya, foklor juga berfungsi dalam pembentukan karakter anak, yang dibutuhkan sebagai proses awal dalam pembentukan karakter bangsa dan bisa menjadi alat untuk ketertiban dan penertiban dalam bermasyarakat.

Tentang mengapa foklor Betawi bisa dibicarakan dan dipelajari, alasannya karena Betawi adalah kelompok masyarakat atau rakyat yang memiliki adat istiadat tradisional dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat itu yang biasanya diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya.

Secara etimologi, menurut John M Echols, kata foklor berasal dari kata folk yang berarti rakyat dan kata lor yang berarti adat dan pengetahuan. Sehingga folklor secara harfiah berarti adat dan pengetahuan mengenai rakyat. Foklor itu sendiri  terbagi dalam tiga jenis yakni foklor lisan, setengah lisan, dan bukan lisan.
   
Konteks
 
Abdul Chaer dalam bukunya Foklor Betawi; Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, menyebutkan, setiap bentuk foklor yang ada di masyarakat Betawi mempunyai fungsi dalam kehidupan keseharian mereka. Artinya, setiap butir foklor ada konteks kebudayaan yang melingkupinya.

Dalam konteks ke-Jakarta-an, etnik Betawi jelas merupakan penduduk Jakarta dengan ciri-ciri bahasa, budaya, dan adat istiadat yang berbeda dari pendatang.  Jadi mereka adalah folk sendiri. Kalau folk-folk lain punya ikatan emosional dengan kampung halaman mereka di penjuru Tanah Air, maka folk Betawi tidak.

Folk Betawi hanya terikat secara emosional dengan "kampung halamannya" di Jakarta seperti Karet, Kuningan, dan Senayan, yang saat ini tinggal kenangan saja karena sudah dilanda oleh gelombang pembangunan besar-besaran.

Folk Betawi pun tersebar di sejumlah wilayah, bergabung dengan folk-folk lain dan bahkan terjadi perkawinan campur, sehingga pendukung adat istiadat Betawi makin berkurang.

Barangkali di sini lah menariknya folklor Betawi untuk dibicarakan dan dipelajari. Dengan makin berkurangnya folk Betawi dan makin habisnya lahan mereka tinggal akibat penggusuran, maka makin hilanglah adat istiadat dan ciri kebetawian mereka. Padahal di balik folklor Betawi itu terdapat fungsi-fungsinya.

Misalnya, dalam folklor lisan Betawi ada ucapan "awas ada kedebong anyut" (awas ada batang pisang hanyut). Ucapan ini dilontarkan kepada seseorang yang melintas depan orang banyak atau pun hanya seorang, tanpa berkata apa-apa untuk misalnya permisi atau minta izin.

Latar belakang budaya ungkapan itu adalah mengajarkan anak Betawi bila melintas di depan orang harus memberi salaam atau menyapa dengan ramah.

Contoh lainnya, ada larangan pada waktu Maghrib anak-anak tidak boleh berada atau bermain di luar rumah, dengan ancaman nanti dibawa kolong wewe sehingga nanti ngomongnya jadi pelo (cadel).  Dulu memang banyak kasus seperti itu.

Namun latar belakang budaya sebenarnya adalah agar anak-anak harus berada di dalam rumah untuk melaksanakan shalat Maghrib bersama orang tuanya, yang kemudian dilanjutkan dengan ngaji atau ngederes baca Al Qur'an.

Yang pasti folklor Betawi itu banyak jenisnya. Termasuk dalam folklor lisan misalnya bahasa rakyat Betawi, ungkapan tradisional, cerita rakyat, puisi rakyat, nyanyian rakyat, kepercayaan dan tahayul rakyat, tarian rakyat, drama rakyat, upacara di sekitar siklus kehidupan dan pesta-pesta rakyat.

Sementara folklor yang masuk dalam folklor bukan lisan antara lain arsitektur rakyat, seni kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan, obat-obat rakyat, makanan dan minuman, alat-alat musik, peralatan kerja dan senjata, musik dan bahasa isyarat.

Kaisar-kaisar China pada dahulu kabarnya mencari masukan dari rakyatnya melalui foklor berupa lagu-lagu rakyat yang dikumpulkan dan dipelajari untuk mengetahui bagaimana rakyat menyikapi kebijakan yang diputuskan kekaisaran. Setelah itu sang kaisar pun menentukan kebijakan apa yang perlu diubah dan dikeluarkan.

Dengan melakukan hal demikian, kekaisaran pun berjalan langgeng. Dan, ketika kebiasaan itu tidak dilakukan lagi oleh penguasa kekaisaran selanjutnya, maka kabarnya kekaisaran itu pun terpecah.

Jadi, bagaimana kita akan menyikapi folklor itu, khususnya folklor Betawi? (ab)