Dalam
kehidupan bermasyarakat, adakah fungsi foklor itu? Jawabnya adalah ya,
ada. Kemudian, adakah yang bisa dibicarakan dan dipelajari dari foklor
Betawi, suku bangsa asli yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya?
Lagi-lagi jawabnya adalah ada.
Menurut
sejumlah ahli, foklor memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai
fungsi sosial; sebagai sitem proyeksi, yakni alat pencerminan suatu
kelompok folk; sebagai alat pengesanan pranata dan lembaga kebudayaan;
sebagai alat pendidikan anak; serta sebagai alat pemaksa dan pengawas
agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi.
Artinya,
foklor juga berfungsi dalam pembentukan karakter anak, yang dibutuhkan
sebagai proses awal dalam pembentukan karakter bangsa dan bisa menjadi
alat untuk ketertiban dan penertiban dalam bermasyarakat.
Tentang
mengapa foklor Betawi bisa dibicarakan dan dipelajari, alasannya karena
Betawi adalah kelompok masyarakat atau rakyat yang memiliki adat
istiadat tradisional dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat itu yang
biasanya diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Secara
etimologi, menurut John M Echols, kata foklor berasal dari kata folk
yang berarti rakyat dan kata lor yang berarti adat dan pengetahuan.
Sehingga folklor secara harfiah berarti adat dan pengetahuan mengenai
rakyat. Foklor itu sendiri terbagi dalam tiga jenis yakni foklor lisan,
setengah lisan, dan bukan lisan.
Konteks
Abdul Chaer dalam bukunya Foklor Betawi; Kebudayaan dan Kehidupan Orang
Betawi, menyebutkan, setiap bentuk foklor yang ada di masyarakat Betawi
mempunyai fungsi dalam kehidupan keseharian mereka. Artinya, setiap
butir foklor ada konteks kebudayaan yang melingkupinya.
Dalam
konteks ke-Jakarta-an, etnik Betawi jelas merupakan penduduk Jakarta
dengan ciri-ciri bahasa, budaya, dan adat istiadat yang berbeda dari
pendatang. Jadi mereka adalah folk sendiri. Kalau folk-folk lain punya
ikatan emosional dengan kampung halaman mereka di penjuru Tanah Air,
maka folk Betawi tidak.
Folk
Betawi hanya terikat secara emosional dengan "kampung halamannya" di
Jakarta seperti Karet, Kuningan, dan Senayan, yang saat ini tinggal
kenangan saja karena sudah dilanda oleh gelombang pembangunan
besar-besaran.
Folk
Betawi pun tersebar di sejumlah wilayah, bergabung dengan folk-folk
lain dan bahkan terjadi perkawinan campur, sehingga pendukung adat
istiadat Betawi makin berkurang.
Barangkali
di sini lah menariknya folklor Betawi untuk dibicarakan dan dipelajari.
Dengan makin berkurangnya folk Betawi dan makin habisnya lahan mereka
tinggal akibat penggusuran, maka makin hilanglah adat istiadat dan ciri
kebetawian mereka. Padahal di balik folklor Betawi itu terdapat
fungsi-fungsinya.
Misalnya,
dalam folklor lisan Betawi ada ucapan "awas ada kedebong anyut" (awas
ada batang pisang hanyut). Ucapan ini dilontarkan kepada seseorang yang
melintas depan orang banyak atau pun hanya seorang, tanpa berkata
apa-apa untuk misalnya permisi atau minta izin.
Latar
belakang budaya ungkapan itu adalah mengajarkan anak Betawi bila
melintas di depan orang harus memberi salaam atau menyapa dengan ramah.
Contoh
lainnya, ada larangan pada waktu Maghrib anak-anak tidak boleh berada
atau bermain di luar rumah, dengan ancaman nanti dibawa kolong wewe
sehingga nanti ngomongnya jadi pelo (cadel). Dulu memang banyak kasus
seperti itu.
Namun
latar belakang budaya sebenarnya adalah agar anak-anak harus berada di
dalam rumah untuk melaksanakan shalat Maghrib bersama orang tuanya, yang
kemudian dilanjutkan dengan ngaji atau ngederes baca Al Qur'an.
Yang
pasti folklor Betawi itu banyak jenisnya. Termasuk dalam folklor lisan
misalnya bahasa rakyat Betawi, ungkapan tradisional, cerita rakyat,
puisi rakyat, nyanyian rakyat, kepercayaan dan tahayul rakyat, tarian
rakyat, drama rakyat, upacara di sekitar siklus kehidupan dan
pesta-pesta rakyat.
Sementara
folklor yang masuk dalam folklor bukan lisan antara lain arsitektur
rakyat, seni kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan, obat-obat rakyat,
makanan dan minuman, alat-alat musik, peralatan kerja dan senjata, musik
dan bahasa isyarat.
Kaisar-kaisar
China pada dahulu kabarnya mencari masukan dari rakyatnya melalui
foklor berupa lagu-lagu rakyat yang dikumpulkan dan dipelajari untuk
mengetahui bagaimana rakyat menyikapi kebijakan yang diputuskan
kekaisaran. Setelah itu sang kaisar pun menentukan kebijakan apa yang
perlu diubah dan dikeluarkan.
Dengan melakukan hal demikian, kekaisaran pun berjalan langgeng. Dan,
ketika kebiasaan itu tidak dilakukan lagi oleh penguasa kekaisaran
selanjutnya, maka kabarnya kekaisaran itu pun terpecah.
Jadi, bagaimana kita akan menyikapi folklor itu, khususnya folklor Betawi? (ab)