Jakarta dikepung
banjir. Jakarta tanpa harapan. Demikian antara lain judul laporan sejumlah
media nasional tentang musibah banjir yang melanda DKI Jakarta, ibu kota Republik
Indonesia, pada pertengahan Januari ini.
Sejumlah
media melaporkan peristiwa banjir itu, bahkan sejumlah TV swasta memasukkan
laporan itu dalam program “breaking news”, yang menyiarkan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat
segera.
Riuhnya
laporan tentang bencana itu, makin bertambah jika ditambah dengan kicauan di
media sosial seperti Twitter dan Facebook. Suasana juga makin ramai jika kita
membaca bilik komentar yang disiapkan
pengelola media online atas suatu berita.
Salah satu
yang muncul adalah “perang” antara pendukung atau simpatisan gubernur dan wakil
gubernur DKI Jakarta saat ini dengan bukan pendukung atau simpatisannya. Saling
menggugat kemampuan kepemimpinan mereka bertebaran di media itu.
Semua saling
menyalahkan bahwa banjir yang terjadi saat ini adalah tanggung jawab pemimpin
DKI dan jajarannya. Baik, pimpinan saat ini maupun pemimpin pada masa
sebelumnya.
Asal tahu
saja, banjir sebenarnya sudah diprediksikan akan selalu melanda Jakarta, karena
antara lain tinggi tanah di ibukota lebih rendah dari permukaan air laut. Karena
itu, program mengatasi dan mengendalikan banjir selalu menjadi salah satu program
pemimpin DKI Jakarta. Tidak hanya pemimpin saat ini, tapi juga sejak dulu.
Sejarawan
Betawi, JJ Rizal, mencatat, waktu Sudiro menjadi pemimpin Jakarta pada
1953-1960, ketika beban Jakarta yang masih berstatus kota praja meningkat
dengan bertambahnya jumlah penduduk dan permukiman kumuh, sudah muncul ungkapan yang santer terdengar
yakni “kalau musim panas kebakaran, kalau musim hujan kebanjiran”.
Karena itu,
salah satu programnya adalah membuat dam yang direncanakan seluas 465 hektare untuk
menanggulangi banjir , yang juga berfungsi sebagai hutan kota. Pada 1957,
ia membuat rencana induk Jakarta. Rencana itu dimulai dengan menunjukkan
masalah-masalah utama Jakarta dari urbanisasi, banjir, kesehatan, kemiskinan,
perumahan, kemacetan, ruang terbuka hijau di sekitar permukiman umum, fasilitas sosial, ketersediaan air, sampah,
hingga penurunan permukaan tanah.
Ketika
Soemarno menjadi pemimpin Jakarta pada 1960-1964, ia sudah menghadapi salah
satu kesukaran, yakni saat baru diangkat ia menghadapi bencana banjir besar
dengan korban 40.704 orang di tujuh kelurahan. Grogol yang menjadi lokasi
perumahan elit dan dibanggakan sebagai hunian anggota parlemen terendam hingga
sepinggang orang dewasa dan di kampung-kampung sekitarnya ada yang seatap
rumah.
Soemarno
menyatakan bahwa banjir, sampah, dan kebakaran, serta gubuk liar, kampung liar
dan kaki lima adalah kesatuan masalah besar Jakarta yang harus diselesaikan
bersama. Ia melihat hal ini berkaitan sekali dengan kepadatan penduduk.
Pada saat
menjadi Gubernur Jakarta pada 1965-1977, Ali Sadikin yang mendapat banyak catatan
positif dalam kepemimpinannya, menyadari perlunya melihat banjir bukan sebagai
takdi, sebagaimana pandangan MH Thamrin pada 1930-an.
Bang Ali pun
tahu, rencana-rencana Thamrin untuk menanggulangi banjir sudah tidak mencukupi
dan perlu suatu proyek besar. Tapi keterbatasan dana yang saat itu ditaksir
mencapai Rp500 miliar hanya memungkinkan dilakukan pengerukan, normalisasi kali
dan saluran, pembuatan waduk, pemindahan 3.000 bangunan liar di sisi kanal
banjir, dan pemasangan pompa pembuangan. Pada 1976, Ali Sadikin terpukul saat
banjir besar membuat dua juta lebih penduduk mengungsi.
Gubernur Jakarta
selanjutnya adalah Tjokropranolo. Ia yang menjadi gubernur pada 1977-1982,
menurut JJ Rizal, kebijakannya lebih mengarah ke populisme, antara lain dengan menjelma
menjadi “bapak angkat” orang miskin.
Program
penanggulangan atau mengatasi banjir tercatat kembali ketika Soeprapto menjadi
Gubernur DKI pada 1982-1987 ketika penduduk Jakarta berjumlah 6,5 juta jiwa.
Ketika itu ia membuat Master Plan Jakarta 1985-2005 atau RUTR dan rencana
daerah atau rencana bagian wilayah kota (RBWK). Dalam master plan ini, banyak
sekali perhatian diberikan terhadap pengendalian banjir, saluran air, pengadaan
dam, serta perbaikan antara berbagai
agen yang memastikan bahwa sungai-sungai bersih dijaga tetap bersih dari
sampah, air buangan rumah tangga, dan limbah.
Banjir besar
terjadi tiga kali pada Oktober 1995 hingga Februari 1996 ketika Jakarta
dipimpin oleh Soerjadi Soedirdja. Banjir menewaskan 20 korban dan menyebabkan
135.000 rumah kebanjiran, sehingga menyengsarakan sekitar setengah juta orang. Bahkan
kawasan elite di Jakarta Pusat juga terkena banjir.
Menurut
Rizal, kerusakan akibat banjir 1996 itu adalah peringatan. Kawasan hijau tidak
bisa begitu saja dimain-mainkan dalam selembar kertas berisi perhitungan
anggaran. Sejak itu, katanya, kesadaran atas ancaman tersebut tumbuh di antara
kelompok-kelompok penekan informal, tetapi sedikit sekali pada pengambil
kebijakan, bahkan ketika Sutiyoso menjadi Gubernur Jakarta pada 1997-2002 dan
2002-2007.
Pada masa
Sutiyoso, yang ketika menjadi gubernur krisis yang dipicu peristiwa Mei 1998
terjadi, ia juga mendapat amukan yang paling hebat yang didapat dari banjir.
Pada Minggu, 27 Januari 2002, air bah melanda Jakarta. Korban sebanyak 80 orang
dan kerusakan langsung diperkirakan senilai Rp5,4 triliun. Masyarakat cepat melupakan banjir besar itu.
Ketika Fauzi
Bowo menjadi gubernur periode 2007-2012 melalui pemilihan langsung, sejumlah
pengamat dan media memetakan salah satu persoalan warga Jakarta adalah banjir.
Buat Fauzi Bowo, yang akrab dipanggil Foke, pembangunan Kanal Banjir Timur,
merupakan salah satu programnya yang dinilai berhasil dalam mengendalikan
banjir di Jakarta.
Joko Widodo
atau Jokowi, Gubernur DKI Jakarta terpilih periode 2012-2017, sudah menyatakan
bahwa salah satu programnya adalah mengendalikan banjir. Dan, pemerintah pusat
pun sudah menyatakan akan membantu Jakarta dalam menjalankan programnya
itu.
Berkaitan
dengan penanganan masalah banjir yang sangat merugikan masyarakat karena melumpuhkan semua kegiatan mereka,
pertanyaannya adalah apakah Jakarta masa kini bakal sama seperti masa-masa
sebelumnya ? (*)
Bang Ahmad, pembanguan apertemen yg sekarang lagi in ikut berkontribusi terhadap banjir ga? saya khawatir rumah saya akan tenggelam, secara banyak banguanan tinggi di lingkungan seperti aparteman Cempaka Mas, the Green Pramuka dan yg akan datang kawasan YPAC mau dibuat apartemen tuh... belum lagi kawasan pacuan kuda Pulo Mas jadi perumahan mewah tuh.... nyaris tak ada resapan air.
BalasHapusMenurut ane, kalo pembangunannya sesuai dg rutr dan rbwk, yg pastinya gak bakal ngizinin bangun gedung di wilayah resapan air, gak masalah. Ane turut prihatin dg kekhawatiran abang. Srmoga pemerintah lebih konsisten, konsekwen dan tertib aturan.
BalasHapus