Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Kamis, 17 Januari 2013

BANJIR DI JAKARTA, RIWAYATMU DULU DAN KINI…



Jakarta dikepung banjir. Jakarta tanpa harapan. Demikian antara lain judul laporan sejumlah media nasional tentang musibah banjir yang melanda DKI Jakarta, ibu kota Republik Indonesia, pada pertengahan Januari ini.
 
Sejumlah media melaporkan peristiwa banjir itu, bahkan sejumlah TV swasta memasukkan laporan itu dalam program “breaking news”,  yang menyiarkan  informasi penting yang perlu diketahui masyarakat segera.

Riuhnya laporan tentang bencana itu, makin bertambah jika ditambah dengan kicauan di media sosial seperti Twitter dan Facebook. Suasana juga makin ramai jika kita membaca  bilik komentar yang disiapkan pengelola media online atas suatu berita.

Salah satu yang muncul adalah “perang” antara pendukung atau simpatisan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta saat ini dengan bukan pendukung atau simpatisannya. Saling menggugat kemampuan kepemimpinan mereka bertebaran di media itu.

Semua saling menyalahkan bahwa banjir yang terjadi saat ini adalah tanggung jawab pemimpin DKI dan jajarannya. Baik, pimpinan saat ini maupun pemimpin pada masa sebelumnya.

Asal tahu saja, banjir sebenarnya sudah diprediksikan akan selalu melanda Jakarta, karena antara lain tinggi tanah di ibukota lebih rendah dari permukaan air laut. Karena itu, program mengatasi dan mengendalikan banjir selalu menjadi salah satu program pemimpin DKI Jakarta. Tidak hanya pemimpin saat ini, tapi juga sejak dulu.

Sejarawan Betawi, JJ Rizal, mencatat, waktu Sudiro menjadi pemimpin Jakarta pada 1953-1960, ketika beban Jakarta yang masih berstatus kota praja meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk dan permukiman kumuh,  sudah muncul ungkapan yang santer terdengar yakni “kalau musim panas kebakaran, kalau musim hujan kebanjiran”.

Karena itu, salah satu programnya adalah membuat dam yang direncanakan seluas 465 hektare untuk menanggulangi banjir , yang juga berfungsi sebagai hutan kota. Pada 1957, ia membuat rencana induk Jakarta. Rencana itu dimulai dengan menunjukkan masalah-masalah utama Jakarta dari urbanisasi, banjir, kesehatan, kemiskinan, perumahan, kemacetan, ruang terbuka hijau di sekitar permukiman umum, fasilitas sosial, ketersediaan air, sampah, hingga penurunan permukaan tanah.

Ketika Soemarno menjadi pemimpin Jakarta pada 1960-1964, ia sudah menghadapi salah satu kesukaran, yakni saat baru diangkat ia menghadapi bencana banjir besar dengan korban 40.704 orang di tujuh kelurahan. Grogol yang menjadi lokasi perumahan elit dan dibanggakan sebagai hunian anggota parlemen terendam hingga sepinggang orang dewasa dan di kampung-kampung sekitarnya ada yang seatap rumah.

Soemarno menyatakan bahwa banjir, sampah, dan kebakaran, serta gubuk liar, kampung liar dan kaki lima adalah kesatuan masalah besar Jakarta yang harus diselesaikan bersama. Ia melihat hal ini berkaitan sekali dengan kepadatan penduduk.

Pada saat menjadi Gubernur Jakarta pada 1965-1977, Ali Sadikin yang mendapat banyak catatan positif dalam kepemimpinannya, menyadari perlunya melihat banjir bukan sebagai takdi, sebagaimana pandangan MH Thamrin pada 1930-an.

Bang Ali pun tahu, rencana-rencana Thamrin untuk menanggulangi banjir sudah tidak mencukupi dan perlu suatu proyek besar. Tapi keterbatasan dana yang saat itu ditaksir mencapai Rp500 miliar hanya memungkinkan dilakukan pengerukan, normalisasi kali dan saluran, pembuatan waduk, pemindahan 3.000 bangunan liar di sisi kanal banjir, dan pemasangan pompa pembuangan. Pada 1976, Ali Sadikin terpukul saat banjir besar membuat dua juta lebih penduduk mengungsi.

Gubernur Jakarta selanjutnya adalah Tjokropranolo. Ia yang menjadi gubernur pada 1977-1982, menurut JJ Rizal, kebijakannya lebih mengarah ke populisme, antara lain dengan menjelma menjadi “bapak angkat” orang miskin.

Program penanggulangan atau mengatasi banjir tercatat kembali ketika Soeprapto menjadi Gubernur DKI pada 1982-1987 ketika penduduk Jakarta berjumlah 6,5 juta jiwa. Ketika itu ia membuat Master Plan Jakarta 1985-2005 atau RUTR dan rencana daerah atau rencana bagian wilayah kota (RBWK). Dalam master plan  ini, banyak sekali perhatian diberikan terhadap pengendalian banjir, saluran air, pengadaan dam, serta perbaikan  antara berbagai agen yang memastikan bahwa sungai-sungai bersih dijaga tetap bersih dari sampah, air buangan rumah tangga, dan limbah.

Banjir besar terjadi tiga kali pada Oktober 1995 hingga Februari 1996 ketika Jakarta dipimpin oleh Soerjadi Soedirdja. Banjir menewaskan 20 korban dan menyebabkan 135.000 rumah kebanjiran, sehingga menyengsarakan sekitar setengah juta orang. Bahkan kawasan elite di Jakarta Pusat juga terkena banjir.

Menurut Rizal, kerusakan akibat banjir 1996 itu adalah peringatan. Kawasan hijau tidak bisa begitu saja dimain-mainkan dalam selembar kertas berisi perhitungan anggaran. Sejak itu, katanya, kesadaran atas ancaman tersebut tumbuh di antara kelompok-kelompok penekan informal, tetapi sedikit sekali pada pengambil kebijakan, bahkan ketika Sutiyoso menjadi Gubernur Jakarta pada 1997-2002 dan 2002-2007.

Pada masa Sutiyoso, yang ketika menjadi gubernur krisis yang dipicu peristiwa Mei 1998 terjadi, ia juga mendapat amukan yang paling hebat yang didapat dari banjir. Pada Minggu, 27 Januari 2002, air bah melanda Jakarta. Korban sebanyak 80 orang dan kerusakan langsung diperkirakan senilai Rp5,4 triliun.  Masyarakat cepat melupakan banjir besar itu.

Ketika Fauzi Bowo menjadi gubernur periode 2007-2012 melalui pemilihan langsung, sejumlah pengamat dan media memetakan salah satu persoalan warga Jakarta adalah banjir. Buat Fauzi Bowo, yang akrab dipanggil Foke, pembangunan Kanal Banjir Timur, merupakan salah satu programnya yang dinilai berhasil dalam mengendalikan banjir di Jakarta.

Joko Widodo atau Jokowi, Gubernur DKI Jakarta terpilih periode 2012-2017, sudah menyatakan bahwa salah satu programnya adalah mengendalikan banjir. Dan, pemerintah pusat pun sudah menyatakan akan membantu Jakarta dalam menjalankan programnya itu.

Berkaitan dengan penanganan masalah banjir yang sangat merugikan masyarakat karena melumpuhkan semua kegiatan mereka, pertanyaannya adalah apakah Jakarta masa kini bakal sama seperti masa-masa sebelumnya ?  (*)

2 komentar:

  1. Bang Ahmad, pembanguan apertemen yg sekarang lagi in ikut berkontribusi terhadap banjir ga? saya khawatir rumah saya akan tenggelam, secara banyak banguanan tinggi di lingkungan seperti aparteman Cempaka Mas, the Green Pramuka dan yg akan datang kawasan YPAC mau dibuat apartemen tuh... belum lagi kawasan pacuan kuda Pulo Mas jadi perumahan mewah tuh.... nyaris tak ada resapan air.

    BalasHapus
  2. Menurut ane, kalo pembangunannya sesuai dg rutr dan rbwk, yg pastinya gak bakal ngizinin bangun gedung di wilayah resapan air, gak masalah. Ane turut prihatin dg kekhawatiran abang. Srmoga pemerintah lebih konsisten, konsekwen dan tertib aturan.

    BalasHapus