![]() |
Patung MHT (ab) |
Jakarta tepat berusia 488 tahun pada 22 Juni 2015.
Terlepas masih adanya kontroversi kapan sebenarnya hari lahir Jakarta, yang
pasti pada tahun ini masih ada kegelisahan di kalangan masyarakat Betawi, suku
bangsa asli Ibukota Jakarta, tentang eksistensinya.
Bukan menuntut agar diberikan hak istimewa, namun
pengakuan pemerintah, baik pusat maupun daerah, terhadap orang Betawi bisa
menjadi momentum bagi mereka untuk lebih berkontribusi dalam pembangunan.
Memang ada sejumlah orang Betawi yang bekerja sebagai
pegawai di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, itu bukan bagian dari
kebijakan pemprov dalam merekrut pegawainya.
Pemda DKI Jakarta juga mengeluarkan Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta No.92 Tahun 2000 Tentang Penataan Lingkungan Perkampungan
Budaya Betawi Di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya
Jakarta Selatan. Namun, perkembangan belum seperti yang diharapkan.
Melalui keputusan itu, kawasan Setu
Babakan ini dijadikan sebagai wilayah pelestarian alam lingkungan ekosistem
serta seni budaya tradisional masyarakat Betawi dengan tidak menghambat
perkembangan warganya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Tertunda-tundanya pembahasan rancangan peraturan daerah
(Raperda) DKI Jakarta tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, juga menunjukkan
kurang tanggapnya pemerintah daerah saat ini. Pahal Raperda ini diperlukan
sebagai payung hukum pengembangan kebudayaan dan masyarakat Betawi.
Karena itu, pemda dan pemangku kepentingan Jakarta perlu
menempuh upaya agar orang Betawi bisa “kembali ke Jakarta” setelah selama ini
menjadi korban pembangunan, yang membuat mereka terpencar hingga pinggiran
Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Ngaji dan maen pukulan
Saat ini sepertinya masyarakat Jakarta belum mengenal dengan
baik "siapa orang Betawi" itu. Mereka lebih mengenal orang Betawi sebagai
“orang yang suka maen pukulan” atau berantem kayak jagoan.
Orang Betawi memang identik dengan "ngaji dan maen
pukulan". Itu menandakan bahwa mereka adalah orang yang agamis. Maen
pukulan pun tidak sembarangan. Itu digunakan untuk membela diri. “Ente jual ane
beli”, begitu yang biasa diungkapkan orang Betawi.
Masyarakat Jakarta lebih banyak mengenal orang Betawi sebagai
masyarakat yang suka "main otot". Ini akibat media massa lokal maupun
nasional, termasuk media sosial (medsos) seperti facebook dan twitter,
memberitakan isu tersebut seperti perkelahian antarwilayah, antarkelompok dan
kerusuhan yang seringkali menggunakan nama Betawi.
Jika mau disusuri lebih dalam, tidak semua mereka yang
suka "main otot" itu adalah orang Betawi asli. Ada di antara mereka
merupakan pendatang yang kebetulan sudah lama bergaul dengan orang Betawi. Mereka
kemudian mengaku sebagai orang Betawi.
Saat ini sebenarnya banyak orang Betawi yang "main
otak" dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan bergaul dengan berbagai elemen
bangsa dalam semua bidang kehidupan. Aktivitasnya pun tidak hanya di dalam
negeri, tapi juga melanglang buana.
Di antara mereka ada yang menjadi ulama, jenderal TNI, dokter,
dokter spesialis, birokrat, politikus, anggota legislatif, wartawan, dosen,
penerbang pesawat tempur, fotografer makro kelas internasional, penulis,
bankir, ahli linguistik, sejarahwan, dan budayawan.
Sifat orang Betawi yang humoris, jenaka, menerima pendatang
dengan tangan terbuka, menghargai orang tua, mencintai keluarga dan menghormati
kebudayaan, juga kurang dipahami sebagian warga Jakarta.
Dipahami bahwa penilaian negatif sebagian masyarakat
Jakarta itu, bukanlah kesalahan mereka. Informasi yang mereka dapat cuma seperti
itu. Karena itu, selain melakukan perbaikan dari faktor eksternal, tentunya internal
orang Betawi juga perlu diperbaiki.
Seluruh pemangku kepentingan kebetawian harus segera
bergerak. Jangan hanya menaroh ide dan gagasan di atas kertas dan di mulut
doang.
Betawi dulu pernah punya ulama terkenal seperti KH Abdullah
Syafi'i, Guru Mansyur dan Guru Amin, politikus Muhammad Husni Thamrin, seniman
Ismail Marzuki, penulis Firman Muntaco, dan seniman serba bisa Benyamin S.
Kemana orang Betawi sekarang? Mengapa kini seolah-olah tidak
mampu melahirkan orang-orang sekaliber mereka?
Harapan tentunya disandarkan kepada pemda serta sejumlah
ormas kebetawian, Keluarga Mahasiswa Betawi (KMB), yang berisi kaum cendikia
orang Betawi, dan Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi. (ab)