Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Selasa, 19 Februari 2013

BUAYA LUH...


Buaya luh... Mungkin kata-kata itu seharusnya tidak menyinggung perasaan orang Betawi bila dilontarkan. Hal ini mengingat filosofis orang Betawi yang sangat mengagungkan buaya putih sebagai simbol percintaan dan perkawinan.

Roti buaya sepasang adalah suatu persembahan atau bentuk seserahan mempelai pria kepada wanitanya. Roti ini untuk selanjutnya tidak dimakan melainkan hanya dipajang saja di atas meja dan kadang-kadang sering pula ditempelkan di dinding dekat pelaminan. Namun, kini dalam perkembangannya, roti tersebut sudah dinikmati sebagai teman “ngupi”.

Penggunaan roti buaya tersebut adalah konsep dunia mitos Betawi yang sangat mengagungkan buaya putih sebagai pertanda baik untuk perkawinan. Buaya putih adalah hewan mistis penunggu sungai yang dianggap keramat bagi mereka. Sepasang roti buaya itu mensimbolkan suatu kekuatan spiritual yang akan melindungi pasangan yang menikah untuk saat keriaan tersebut berlangsung.

Selain itu juga dari nilai kelakuan dan karakter yang terkandung didalamnya yakni, diharapkan kedua mempelai dapat berkelakuan seperti sepasang buaya seperti layaknya. Buaya biasanya monogami dan memiliki sarang yang tetap dan tidak berpindah-pindah.

Karena filosofis sikap kesetiaan pasangan hidup buaya tersebut juga digunakan oleh masyarakat Betawi sebagai cermin bagaimana seharusnya pasangan mempelai bertindak dan berperilaku. Selalu setia, memiliki rumah yang tetap dan mengharamkan perselingkuhan adalah nilai yang terkandung di dalamnya.

Nilai-nilai norma dan etika hidup bersosial inilah yang sangat agung dan perlu ditumbuhsuburkan pada masyarakat Betawi modern saat ini. Hal ini untuk mengantisipasi terkondisinya masyarakat Betawi akan segala macam penyakit hati dan penyimpangan pola pergaulan masyarakat urban yang menyerang kehidupannya sebagai masyarakat kosmopolit penduduk asli ibukota negara Indonesia, yaitu Jakarta.

Bila merunut sejarahnya, simbol buaya (putih) masuk dalam dunia mitos Betawi merupakan pengaruh kuat dari kebudayaan orang Dayak dan Melayu Kalimantan Barat yang menurut Prof. Nothofer yang telah hijrah ke Jakarta paling sedikit sejak abad 10 Masehi. Mereka inilah yang kemudian menjadi komponen utama yang menurunkan dan menciptakan komunitas baru yakni orang betawi (Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Gunarakata, 1997).

Cerita mitosnya, Arkian Mahatara adalah Dewa utama orang Dayak. Mahatara punya 7 puteri yang disebut dewi-dewi Santang (mengingatkan nama Kyan Santang, yaitu putera Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan selir Nhay Subang Larang yang beragama Islam). Mahatara mempunyai putera yang bernama Jata. Si Jata ini wajahnya merah dan kepalanya berbentuk kepala buaya.

Karena itu orang Dayak menganggap buaya adalah hewan suci karena dianggap penjelmaan dari Jata tersebut. Orang Dayak tidak membunuh buaya kecuali warganya ada yang ditelan buaya (Jan Knappert, Myth and legends of Indonesia, Singapura, 1977).

Lambat laun terjadi pergeseran konsep terhadap simbol buaya tersebut dalam dunia mitos Betawi adalah orang Betawi tidak mensucikan buaya sebagai hewan ma’ujud, tetapi yang dihormati adalah buaya siluman yang warnanya putih. (*)

Kamis, 07 Februari 2013

BA'DA LOHOR



"Elu kok belom berangkat ke rumah encang lu, bawain kue nyang tadi dibeli emak?" tanya mpok kepada adeknya.
"Ntar, jam 12-an, mpok" jawab si adek.
"Luh mao ngapain di sono jam segitu. Lu tau enggak, tahlilannya  kan ba'da lohor, jadi lu mesti di rumah encang sebelom lohor, bantu nyiapin makanan buat tahlilal," kata si mpok panjang lebar.
"Ooh gitu ye...iye dah mpok, aye berangkat sekarang yee..," jawab si adik.

Ba'da lohor. Itu hanya salah satu contoh. Sebagian masyarakat Betawi, suku asli Jakarta, masih menggunakan ukuran waktu seperti itu pada saat ini. Ba’da lohor artinya waktu setelah masuk saat shalat Zuhur, yang biasanya sekitar jam 12-an siang. 


Kebiasaan menyebut ukuran waktu tertentu seperti itu, biasa dipake buat nunjukkin kapan suatu kegiatan dilaksanakan. Tidak ada kepastian jam. Namun biasanya masyarakat pengguna ungkapan itu paham kapan suatu kegiatan itu dilaksanakan.


Buat generasi muda Betawi, juga barangkali generasi muda lainnya, ungkapan tersebut membingungkan. Sebagian dari mereka pasti kemungkinan menanyakan kapan persisnya waktu ba’da lohor itu.
Generasi muda Betawi saat ini udah menggunakan jam buat nunjukin ukuran waktu. Mereka misalnya udah jarang ngegunain ba'da lohor buat nunjukin waktu seusai shalat Zuhur. Mereka lebih suka pake misalnya jam setengah satu atau jam satu. 


Buat mereka, sambil bercanda, muncul pemahaman bahwa ba'da lohor itu bisa diartikan sesudah shalat Zuhur  yang artinya bisa Ashar, bahkan Maghrib atau kalau menggunakan jam artinya bisa jam setengah empat atau jam enam malam. Jam buat generasi muda Betawi sepertinya lebih pasti.


Ungkapan itu digunakan mungkin karena pada zaman dulu, jam merupakan barang mewah dan jarang yang punya. Jadi, masyarakat penggunanya menggunakan ukuran waktu shalat atau suasana pada saat itu seperti tengari bolong.


Tentang kepastian kapan waktu yang dimaksud, mungkin karena sering digunakan lalu muncul kesepakatan secara otomatis dan alami. Jadi, buat mereka tidak ada masalah. Apalagi, dalam kegiatan tertentu misalnya kumpul sebelon ngebesan, terkadang dibantu dengan memasang petasan.


Nah, masih perlu enggak sih kita pake ungkapan seperi itu?

Kayaknya sih sebaiknya generasi muda Betawi, tetap gunakan ungkapan seperti itu karena udah tradisi orang Betawi. Sayang kalo tradisi yang sudah menjadi ciri khas Betawi enggak dipakai, bisa-bisa nanti dilupain.


Kan kita sekarang udah banyak jam dan gimana dengan kepastian jamnya kalo kita gunain ungkapan kayak gitu. Yaaah..mungkin kalo kita sering pake lama-lama juga paham. (*)