
Roti buaya sepasang adalah suatu persembahan atau bentuk seserahan mempelai pria kepada wanitanya. Roti ini untuk selanjutnya tidak dimakan melainkan hanya dipajang saja di atas meja dan kadang-kadang sering pula ditempelkan di dinding dekat pelaminan. Namun, kini dalam perkembangannya, roti tersebut sudah dinikmati sebagai teman “ngupi”.
Penggunaan roti buaya tersebut adalah konsep dunia mitos Betawi yang sangat mengagungkan buaya putih sebagai pertanda baik untuk perkawinan. Buaya putih adalah hewan mistis penunggu sungai yang dianggap keramat bagi mereka. Sepasang roti buaya itu mensimbolkan suatu kekuatan spiritual yang akan melindungi pasangan yang menikah untuk saat keriaan tersebut berlangsung.
Selain itu juga dari nilai kelakuan dan karakter yang terkandung didalamnya yakni, diharapkan kedua mempelai dapat berkelakuan seperti sepasang buaya seperti layaknya. Buaya biasanya monogami dan memiliki sarang yang tetap dan tidak berpindah-pindah.
Karena filosofis sikap kesetiaan
pasangan hidup buaya tersebut juga digunakan oleh masyarakat Betawi sebagai
cermin bagaimana seharusnya pasangan mempelai bertindak dan berperilaku. Selalu
setia, memiliki rumah yang tetap dan mengharamkan perselingkuhan adalah nilai
yang terkandung di dalamnya.
Nilai-nilai norma dan etika hidup
bersosial inilah yang sangat agung dan perlu ditumbuhsuburkan pada masyarakat
Betawi modern saat ini. Hal ini untuk mengantisipasi terkondisinya masyarakat
Betawi akan segala macam penyakit hati dan penyimpangan pola pergaulan
masyarakat urban yang menyerang kehidupannya sebagai masyarakat kosmopolit
penduduk asli ibukota negara Indonesia, yaitu Jakarta.
Bila merunut sejarahnya, simbol buaya (putih) masuk dalam dunia mitos Betawi merupakan pengaruh kuat dari kebudayaan orang Dayak dan Melayu Kalimantan Barat yang menurut Prof. Nothofer yang telah hijrah ke Jakarta paling sedikit sejak abad 10 Masehi. Mereka inilah yang kemudian menjadi komponen utama yang menurunkan dan menciptakan komunitas baru yakni orang betawi (Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Gunarakata, 1997).
Cerita mitosnya, Arkian Mahatara
adalah Dewa utama orang Dayak. Mahatara punya 7 puteri yang disebut dewi-dewi
Santang (mengingatkan nama Kyan Santang, yaitu putera Prabu Siliwangi dari
perkawinannya dengan selir Nhay Subang Larang yang beragama Islam). Mahatara mempunyai putera yang bernama Jata. Si Jata ini wajahnya merah dan kepalanya
berbentuk kepala buaya.
Karena itu orang Dayak menganggap buaya adalah hewan suci karena dianggap penjelmaan dari Jata tersebut. Orang Dayak tidak membunuh buaya kecuali warganya ada yang ditelan buaya (Jan Knappert, Myth and legends of Indonesia, Singapura, 1977).
Lambat laun terjadi pergeseran
konsep terhadap simbol buaya tersebut dalam dunia mitos Betawi adalah orang
Betawi tidak mensucikan buaya sebagai hewan ma’ujud, tetapi yang dihormati
adalah buaya siluman yang warnanya putih. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar